14: teman baik

51 20 5
                                    

Hari ini rumah Aska ramai karena menjadi tempat berkumpul teman-teman lamanya dari SMA Cakrawala. Mumpung hari sedang libur dan di rumah tidak ada orang, Aska mengajak Deon, Zani, dan Gino untuk main di rumahnya. Setelah pindah sekolah, mereka memang jarang sekali bertemu.

Hanya tiga sahabat karibnya saja yang ia ajak untuk datang. Aska memang jarang mengajak teman-temannya ke rumah, karena takut mengganggu. Terlebih Erin juga sering marah-marah. Ini bahkan kali pertama mereka bertiga datang ke rumah Aska.

"Enak juga nongkrong di rumah Aska, banyak makanannya," ujar Gino yang bersantai di atas sofa empuk sambil memeluk setoples camilan. Cowok itu tak henti-hentinya memasukkan berbagai camilan ke dalam mulutnya.

Sementara itu Deon, Zani, dan Aska duduk melingkar di karpet sambil mabar game online. Beberapa kali mereka berteriak kesal, dan bersorak senang karena terlalu hanyut dalam permainan. Gino yang tidak pernah main game online itu, lebih memilih untuk menonton film di televisi.

"Main yang bener, nyet!" umpat Zani karena merasa teman-temannya bermain dengan payah. Benar-benar beban, pikirnya.

"Kayak lo udah bener aja, nyet!" balas Deon dengan pandangan yang masih fokus ke layar handphone-nya.

"Udah, sesama monyet jangan bertengkar." Gino ikut nimbrung sambil tergelak tawa.

"Lo yang monyet!" Deon, Gino, dan Aska berbicara kompak, balas mengatai Gino. Mereka bertiga tertawa ngakak saat melihat wajah kesal yang Gino tunjukkan.

Gino memutar bola mata malas dan kembali melanjutkan aktivitas ngemilnya. Dia mengambil toples camilan yang lain dan melahapnya dengan asyik. Matanya mengamati sekeliling ruang tamu itu dengan detail. Hingga tak sengaja ia melihat sebuah bingkai foto kecil yang terletak di meja yang ada di samping sofa.

Jiwa kepo-nya mendadak keluar. Diam-diam Gino mengambil foto tersebut dan memperhatikannya baik-baik. Foto keluarga kecil yang terdiri dari empat orang. Kelihatan seperti keluarga cemara yang bahagia. Namun pandangan Gino tertuju kepada seorang gadis yang berdiri di samping Aska. Senyumannya lebar dan manis. Wajah yang terlihat tidak asing.

"Kayak pernah lihat," gumamnya.

Gino kemudian bertanya kepada Aska, "Ka, lo punya adik, ya?"

"Lo ngaco, ya? Aska 'kan pernah bilang kalau dia anak tunggal." Zani berdecak pelan. Dia masih ingat dengan ucapan Aska saat mereka masih kelas 10 dulu. Katanya Aska tidak punya kakak dan tidak punya adik. Itu artinya dia anak tunggal.

Di tempatnya, Aska terdiam dengan wajah pucat. Seperti habis tertangkap basah telah berbohong. Benar, dia membohongi teman-temannya. Ini semua karena Erin yang melarangnya. Erin menyuruh Aska untuk tidak mengatakan bahwa dia punya adik, dan Erin juga tidak mengatakan kepada siapa pun kalau dia punya kakak.

Bahkan karena tak ingin ketahuan, Erin sampai memaksa untuk sekolah di sekolah yang berbeda dengan Aska. Itu sebabnya mereka sekolah di SMA yang berbeda. Saking bencinya Erin kepada Aska, gadis itu melakukan berbagai cara agar tidak dekat-dekat dengan kakak angkatnya itu.

"Tapi kok di foto keluarga lo ada ceweknya sih?" Gino menunjukkan foto keluarga Aska kepada teman-temannya. Kini bukan handphone lagi yang menjadi pusat perhatian ketiga cowok itu, melainkan sebuah foto yang Gino perlihatkan.

Deon yang menyadari bahwa di foto keluarga Aska itu ada Erin, langsung mengambil alih foto tersebut dari tangan Gino. Dia menatap wajah Erin di foto keluarga kecil itu dengan tatapan tidak percaya.

"Loh, ini 'kan Erin! Iya, bener! Ini Erina anak SMA Cemerlang. Yang pernah gue ceritain ke kalian," kata Deon dengan heboh. Zani mendekatinya untuk memandang foto Erin dengan lebih jelas lagi.

"Hah? Yang mana?" tanya Zani tak ingat. Terlalu banyak perempuan yang ia lihat akhir-akhir ini sampai dia tidak mengingat semuanya.

"Yang kata gue tukang bully itu loh." Deon memberi tahu, membuat Zani dan Gino akhirnya ingat dengan percakapan mereka di kantin yang sudah lama berlalu.

"Oh, itu. Gue inget."

Sekarang semua tatapan tertuju kepada Aska, seolah meminta penjelasan. Aska menelan ludahnya kasar. Kenapa dia sampai lupa untuk menyembunyikan foto itu agar tidak ketahuan oleh teman-temannya?

"Erin adik lo?" tanya Deon.

"Iya," jawab Aska jujur. Mau bagaimana pun juga, ia sudah tertangkap basah. Laki-laki itu menunduk sambil meringis pelan. "Adik angkat."

Fakta itu cukup membuat teman-teman Aska tercengang. Suasana mendadak menjadi canggung dan hening. Melihat ekspresi Aska yang berubah murung, Gino, Deon, dan Zani saling menatap bingung.

"Ka, kenapa lo nyembunyiin ini dari kita?" tanya Zani tidak mengerti. "Sebenarnya gak penting juga sih lo punya adik atau enggak, tapi kita bingung aja kenapa lo sampe bohong demi nyembunyiin hal ini?"

"Erin gak mau orang-orang tahu kalau gue kakak angkatnya." Aska membuang napas kasar. Dia melempar handphone-nya ke atas sofa, dan berbalik membelakangi teman-temannya.

Apa teman-temannya akan marah dan meninggalkannya setelah tahu bahwa Aska telah berbohong?

Namun yang terjadi malah sebaliknya. Mereka bertiga mendekati Aska. Sama sekali tidak menunjukkan ekskresi marah.

"Kok bisa?" kata Deon tidak habis pikir. "Hubungan kalian gak baik, ya? Sorry, kalau kita banyak nanya. Kalau lo gak mau jawab juga gak masalah. Kita jangan bahas ini lagi."

Zani dan Gino mengangguk setuju. Walaupun merasa penasaran, jika Aska merasa tidak nyaman karenanya, maka mereka memilih untuk diam saja.

"Eh, lanjut mabar, yuk! Gue hampir aja menang tadi!" ajak Zani kepada teman-temannya, sekaligus mengalihkan pembicaraan. Dia mengambil handphone Aska yang ada di sofa kemudian melemparnya ke arah Aska. Untung laki-laki itu cukup gesit untuk menangkapnya dengan tepat. "Mabar, Ka!"

Gino pun ikut melingkar bersama yang lain. Dia mengeluarkan handphone-nya dari saku celana dan mengajukan sebuah pertanyaan, "Lo semua main game apa sih? Gue mau ikut dong!"

"Katanya lo gak mau main game online! Katanya takut kecanduan," ujar Deon menyindir Gino yang pernah dengan lantang mengatakan : gue tuh cowok langka. Gak pernah download game online apalagi mainin! Kata mama, game online itu bakal bikin kecanduan! Mending main pou aja, pencet tai dapet koin.

Mengingat ucapan Gino saat mereka kelas 10 itu sontak membuat tawa ketiga cowok itu pecah. Gino yang merasa malu, hanya menyengir sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia jadi merasa seperti menelan ludah sendiri. Tapi bukankah manusia itu memang gampang berubah-ubah?

"Sialan, lo semua! Giliran yang begitu aja, lo pada inget!" Gino memalingkan wajah dengan perasaan jengkel.

"Ya udah, jadi gak nih mabarnya? Lo mending download dulu deh game-nya. Sini gue aja yang ketik di playstrore. Takutnya entar lo malah download game barbie lagi!" Zani merebut handphone Gino sambil meledek temannya itu. Lagi-lagi ketiga cowok itu menjadikan Gino bahan tertawaan.

"Untung gue sabar," gumam Gino sambil mengusap-usap dadanya. Namun beberapa detik setelah itu, dia melayangkan jitakan ke kepala teman-temannya satu per satu tanpa terlewat.

Aska berdecak sambil memegang bekas jitakan Gino yang lumayan sakit itu. "Katanya sabar?!"

"Gue gak jadi sabar, soalnya muka kalian ngeselin banget!"

Sekali lagi mereka semua tertawa.

Aska menggeleng pelan sambil memandang wajah teman-temannya satu per satu. Bersama ketiga teman favoritnya itu, Aska memang tidak pernah merasa kesepian dan bosan. Baginya Deon, Gino, dan Zani adalah sahabat yang akan selalu ia ingat.

Oh, juga Alara.

Gadis itu juga sudah mempunyai tempat istimewa di hati Aska.

Sebagai teman.

Meski tujuan awal Aska berteman dengan gadis itu tidak tulus alias memiliki maksud dan tujuan, tetapi Aska tetap menganggap Alara sebagai temannya.

•••


Sampai Jumpa Lagi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang