17: lawan

55 19 6
                                    

Jam pelajaran kedua di kelas Alara. Guru Fisika yang seharusnya mengisi jadwal tiba-tiba saja memiliki keperluan sehingga kelas XI-1 IPA menikmati jam kosong. Beberapa orang diam-diam pergi ke kantin karena tidak sabar menunggu waktu istirahat satu jam lagi.

Di bangkunya Alara diam sambil membaca novel horor yang belum ia tuntaskan. Tinggal satu bab lagi dan semua rasa penasaran Alara akan terbayarkan. Namun ketika sedang asyik dengan dunianya, tiba-tiba saja seseorang merebut novel itu dari tangan Alara

"Apa, nih? Novel horor?!" teriak Sandra sambil mengangkat tinggi-tinggi novel milik Alara. Lulu dan Invia juga ikut menghampirinya.

"Ternyata si Alara suka cerita horor? Pantes sih, soalnya mukanya emang mirip makhluk halus. Jelek dan menakutkan," kata Lulu sambil tertawa terbahak-bahak.

"Iya dong, kan temennya kuntilanak, tuyul, suster ngesot, dan segala hal gaib lainnya. Kalau temen manusia mana punya dia. Orang-orang juga pilih pilih kali kalau mau nyari temen," sahut Invia sambil melirik Alara dengan tatapan merendahkan.

Sungguh, Alara sangat muak berada di posisi seperti ini. Dia sudah terlalu malas menanggapi segala gangguan dari Sandra dan teman-temannya. Dulu ada Erin yang membuat hari-harinya suram, sekarang Sandra telah menggantikan posisi Erin untuk membuat hari Alara menjadi pelik. Mereka benar-benar teman sejati, sanpai sifat-sifatnya saja sama persis.

Padahal awalnya, yang membenci Alara hanya Erin saja. Sandra, Lulu, dan Invia hanya ikut-ikutan belaka. Namun sepertinya mereka sudah terlanjur menjadikan Alara sebagai sasaran untuk melampiaskan rasa kesal dan frustrasi pada kehidupan yang tidak selalu menyenangkan. Sehingga ada tak adanya Erin di sini, tak mengubah kebiasaan mereka.

"Kok cuma diem sih? Gak mau berusaha ambil buku ini gitu?" tanya Sandra menatap Alara aneh. Padahal gadis itu sudah tidak sabar menunggu respons frustrasi dari Alara yang selalu membuat hatinya senang.

Namun gadis berambut sebahu itu hanya menatap Sandra datar tanpa ekspresi.

"Ambil," kata Alara pelan. Dia kemudian beranjak dan melakukan kontak mata dengan Sandra untuk waktu yang agak lama. "Silakan simpan, buang, bakar, atau apapun itu, aku udah gak peduli dengan sesuatu yang udah dipegang sama tangan kotor kamu."

Setelah mengatakan hal itu, Alara berjalan pergi ke luar dari kelas. Sungguh, ini kali pertama dia berani untuk menatap mata Sandra dengan sangat percaya diri tanpa rasa takut. Sesuatu yang membuat Sandra langsung bergeming dengan tatapan tidak percaya.

Yang Alara lakukan adalah sebuah hal kecil, tetapi jika dibiarkan hal itu akan menjadi besar.

"Tunggu lo!" Sandra dengan cepat mencegah dan menarik tangan Alara sebelum gadis itu benar-benar keluar dari kelas. Dengan wajah marah Sandra melempar novel milik Alara ke tempat sampah, sengaja agar si pemiliknya melihat. "Sampah."

Alara masih menunjukkan ekspresi biasa saja. Dalam hatinya gadis itu merasa sangat sayang karena novel itu belum selesai dibaca olehnya dan maalah dibuang oleh Sandra. Namun sebisa mungkin Alara menyembunyikan perasaan aslinya.

"Lo gak mau marah atau nangis gitu?" tanya Sandra kesal. Dia sudah berusaha untuk memancing emosi seorang Alara Pertiwi, tetapi yang dia dapatkan hanya respon membosankan. Tidak ada tangisan atau kata permohonan lagi.

Jengkel karena Alara tidak mengacuhkannya, Sandra melayangkan tangannya hendak memukul kepala gadis itu. Namun dengan cepat Alara menangkisnya.

"Lo?!" Kedua mata Sandra membelalak tidak percaya. Dari mana gadis pecundang itu memiliki banyak keberanian untuk menangkis serangannya?

Iris cokelat terang milik Alara menatap tajam ke arah Sandra. Sesuatu yang membuat Sandra tertegun di tempatnya —kehilangan kata-kata.

Tak lama setelah itu, Alara melepaskan tangan Sandra dan berlalu pergi dari sana. Tanpa mengetahui bahwa tindakan kecilnya hari ini cukup untuk membuat Sandra merasa terancam dan terintimidasi.

Sampai Jumpa Lagi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang