43: hukuman

37 11 12
                                    

"Masih berani pulang kamu?"

Suasana kediaman Adhikari sore itu sangat mencekam. Aska yang baru memasuki rumah, terdiam menatap kedua orang tuanya yang sedang duduk di sofa. Degup jantungnya mendadak tak terkendali. Siapa anak yang bisa tetap tenang, jika tahu akan dimarahi oleh orang tuanya?

Rendra beranjak dari sofa dan berjalan menghampiri Aska yang hanya diam menunduk. Pria berkacamata itu memegang pundak Aska, mencoba untuk menatap anak laki-laki itu. "Kenapa nunduk? Tatap saya seperti yang kamu lakukan di sekolah tadi!" bentaknya, mendorong bahu Aska dengan keras.

Aska sedikit terdorong, tetapi kembali berdiri kokoh. Laki-laki itu masih menunduk di tempatnya berdiri. Tak mengatakan sepatah kata apapun.

"Sudah saya duga, ini pasti terjadi," ujar Rendra sambil tertawa sinis. "Bocah labil kayak kamu emang gak pernah berguna! Malah pada akhirnya, kamu nginjak-nginjak kami yang udah banyak berjasa buat hidup kamu. Gak tahu diri."

Mata Aska menyorot kosong ke bawah. Tidak ada yang keluar dari mulutnya. Ia hanya diam, mencoba untuk menerima semua cercaan yang Rendra beri dengan lapang dada. Tanpa mengelak, tanpa melawan.

"Hei, kamu denger gak?!" bentak Rendra sambil menepuk-nepuk pipi Aska. Namun Aska terus saja mengalihkan pandangan —enggan melakukan kontak mata dengan Papa angkatnya. "Kamu sadar sama apa yang udah kamu lakukan? Jawab!"

Merasa emosi, Rendra menyeret Aska dengan kasar menuju gudang rumah mereka. Rani yang biasanya sedikit peduli dengan Aska, kini memilih untuk tidak acuh, dan menonton televisi seolah tidak terjadi apa-apa.

Aska terjatuh ke lantai saat Rendra mendorongnya tanpa ragu-ragu. Pria berkacamata itu berjalan mengambil tongkat golf bekas yang ada di sudut ruangan, kemudian kembali berjalan menghampiri Aska dengan emosi yang belum reda.

"Anak kurang ajar!" Rendra melayangkan pukulan menggunakan tongkat golf itu ke punggung Aska tanpa ampun. "Bukannya bersyukur udah saya pungut, kamu malah ngelunjak! Tidak tahu terimakasih!" Banyak pukulan Aska terima dari Papa angkatnya itu, tetapi laki-laki itu sama sekali tak melawan.

Hanya saja rasanya seperti dejavu.

Dulu saat kecil Aska juga sering dipukul oleh Ibu, sekarang ia dipukul oleh Papa.

Lama-lama Aska jadi terbiasa.

Namun hanya karena terbiasa, bukan berarti ia tidak merasakan sakit fisik atau pun psikis.

Rendra memukuli Aska tanpa ampun hingga akhirnya melempar tongkat golf-nya ke sembarang tempat dengan keras. Pria itu kemudian menendang Aska yang kini terkapar penuh luka di atas lantai.

"Gara-gara kamu Erin jadi dibicarakan satu sekolahan. Dia dijauhi dan mendapat tekanan sosial dari teman-temannya! Seharusnya kamu gak perlu sok jadi pahlawan kesiangan dan menyelamatkan anak itu. Bisa-bisanya kamu berani mengorbankan putri saya demi gadis miskin itu?!"

Rendra menarik kerah seragam Aska, kemudian melayangkan pukulan ke wajah laki-laki itu. Aska terbatuk-batuk, dengan darah yang menetes dari sudut bibirnya.

"Sekali lagi kamu berbuat sesuatu yang akan berdampak buruk bagi putri saya, saya pastikan kamu akan ditendang keluar dari rumah ini! Camkan." Rendra menghempaskan Aska dengan kasar, kemudian keluar dari gudang dan menutup pintu dengan keras. Terdengar dari dalam kalau pria itu mengunci pintu.

Aska menatap lurus ke langit-langit gudang dengan sorot kosong. Keadaan cowok itu saat ini tampak sangat mengkhawatirkan. Luka-luka menghiasi tubuhnya. Wajahnya pun dipenuhi oleh memar biru. Seluruh badannya terasa remuk. Aska tidak bisa bergerak karena merasa sangat sakit.

Tiba-tiba saja, Aska menangis.

Dibandingkan fisik, keadaan psikisnya jauh lebih rusak.

Setiap Aska melakukan sesuatu yang berdampak buruk untuk Erin, ia selalu mendapatkan hukuman kekerasan. Bahkan jika Erin terluka akibat perbuatannya sendiri, Aska yang akan dimarahi dan mendapatkan hukuman. Sejak kecil semua telah berlangsung seperti itu.

Masih Aska ingat saat Erin sengaja menyakiti dirinya sendiri dulu, supaya Aska mendapat hukuman. Terkadang Erin melakukan beberapa hal yang membuat Aska dalam masalah. Gadis itu senang melakukannya, karena katanya ia sangat membenci kehadiran Aska di keluarga mereka.

Aska tidak pernah berniat membalas, bahkan hingga detik ini.

Semua rasa sakit, marah, kecewa, ia simpan seorang diri. Perasaan negatif perlahan menguasai tubuh dan pikiran Aska. Laki-laki itu mulai menganggap dirinya sendiri tak berharga. Menganggap kehadirannya hanya sebagai pengganggu dan pengacau. Menganggap dirinya pantas mendapatkan semua hukuman.

Hanya saja Aska selalu terlihat normal dan baik-baik saja. Menyembunyikan luka dan trauma sebaik mungkin dengan topeng ceria. Bahkan terkadang Aska selalu memberi motivasi dan nasihat untuk teman-temannya yang sedang putus asa. Padahal dalam hati terdalamnya ... laki-laki itu jauh lebih putus asa dan hampir tenggelam.

"Shaki ...," gumam Aska di sela tangisnya. Pandangannya masih lurus menatap langit-langit gudang dengan sorot sendu, "aku harap kamu diadopsi oleh keluarga yang baik dan harmonis. Aku harap ... kamu selalu lebih bahagia dan beruntung dibandingkan aku."

Terkadang di saat-saat seperti ini, Aska teringat kembali dengan adiknya —lebih tepatnya saudari kembar yang hanya berbeda lima menit dengannya.

Shakira.

Entah di mana dan bagaimana Shaki sekarang, Aska sangat rindu.

"Kalau aja kita bisa ketemu lagi."

•••

"Shaki!"

Shaki menoleh saat merasa ada yang memanggil namanya. Gadis itu terkejut saat orang itu menghambur pelukan ke arahnya. Namun saat tahu siapa pelakunya, Shaki membalas pelukan itu dengan tak kalah erat.

"Aku nunggu dari tadi tahu!" Liana sedikit cemberut. Cukup lama ia menunggu sahabatnya yang tak kunjung juga datang ke tempat bimbel mereka. Pasalnya Shaki adalah satu-satunya teman yang ia miliki. Jadi jika gadis itu tidak ada, Liana akan merasa kesepian.

"Sorry, ya, lama? Tadi ada masalah kecil pas di jalan." Shaki menyengir.

"Ya udah, ayo masuk, Sha."

Mereka berdua memasuki tempat bimbel. Dalam perjalanan menuju kelas, Shaki terlihat melamun. Liana yang menyadari itu merasa sedikit aneh.

"Kamu mikirin apa, sih?"

Shaki mengerjap, kemudian menggeleng pelan. "Nggak, kok ...." Gadis itu menunduk, kembali memikirkan kenalan barunya di trotoar jalan raya tadi —Askara.

"Lia, kamu tahu gak seseorang yang namanya Askara?" tanya Shaki akhirnya, karena kelewat penasaran.

Beberapa detik Liana terdiam di tempatnya. Raut wajahnya berubah muram ketika ia menjawab dengan lesu, "kakaknya Erin, namanya Askara. Aku pernah cerita, 'kan ke kamu?" ada jeda untuk kalimat berikutnya, "tapi aku belum pernah sih ketemu dia." 

Liana mengetahui perihal Aska yang merupakan kakak dari Erin, karena pernah tak sengaja mendengar percakapan antara Erin dan Askara di telpon. Dari percakapan mereka, Liana jadi tahu bahwa Erin memiliki kakak bernama Askara.

Shaki baru saja ingat. Pantas saja nama Askara terasa cukup familier di telinganya. Ternyata Liana sebelumnya pernah bercerita mengenai seseorang yang bernama Askara. Namun belum ada kepastian kalau Askara —kakak dari orang yang merundung Liana, adalah Askara —orang yang membantu nenek-nenek di jalan tadi.

"Emang ada apa? Kenapa kamu tiba-tiba nanyain dia?" Liana kelihatan penasaran.

Shaki menggeleng pelan. "Nggak, kok."

Liana tersenyum sambil menggenggam tangan Shaki. "Besok bisa gak kamu temenin aku ke kantor polisi buat besuk kakak aku? Aku udah kangen banget sama Kakak."

"Boleh banget," jawab Shaki sambil mengangguk semangat.

•••

Sampai Jumpa Lagi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang