30: comeback

40 14 6
                                    

"SERIUS LO?!"

Hal pertama yang Lulu dan Invia katakan, menunjukkan kalau mereka terkejut dan tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar.

Sandra berdecak kesal. Sejak tadi raut mukanya tidak bersahabat. Hanya terbaca kemarahan dari ekspresinya. Apalagi setelah ia menceritakan kepada dua sahabatnya, bahwa kemarin sore dia melihat Aska dan Alara sedang makan es krim bersama di depan minimarket --- yang terletak di samping toko buku yang hendak ia kunjungi.

Aska menolak ajakan Sandra karena memiliki urusan lain. Jadi, itu yang dimaksud urusan oleh Aska? Makan es krim bersama Alara?

Hal itu sangat menyinggung perasaan Sandra.

"Kayaknya mereka deket lagi, deh. Malah lebih deket dari sebelumnya. Kayaknya mereka udah saling suka," kata Lulu yang langsung dihadiahi injakan kaki dari Invia. Lulu memekik kesakitan, sambil menatap Lulu yang duduk di sampingnya dengan kesal. "Apaan, sih, Vi!"

Invia melotot, membuat Lulu langsung menciut.

Sandra memukul meja kantin dengan kesal. Saat ini mereka bertiga memang sedang ada di kantin. Ingin nongkrong sebentar sebelum bel masuk berbunyi pagi ini.

"San, ini gak bisa didiemin lagi. Semenjak Erin kecelakaan, si Alara jadi banyak bertingkah," kata Invia dengan emosi menggebu-gebu, "dia jadi centil, caper, gitu ke anak baru kayak Aska sama— siapa sih itu anak baru satu lagi yang dari luar negeri," Invia mencoba mengingat-ingat, "ah, iya, Osean!"

"Osean?" Lulu berkata bingung, "yang sering bolos itu? Yang katanya, murid baru tapi udah berkali-kali masuk ruang BK?"

Invia mengangguk membenarkan.

"Dih, caper amat dah, si Alara!"

"Ngeselin banget, 'kan? Apalagi sekarang dia makin songong gara-gara udah gak pernah kita bully lagi," lanjut Invia membuat suasana makin panas, "mungkin dia ngira kita udah gak berani sama dia, gara-gara dia deket sama dua orang cowok di sekolah ini. Terus dia ngerasa dijaga gitu. Idih, najis."

Kedua tangan Sandra terkepal. Mendengar obrolan Invia dan Lulu hanya membuat emosinya semakin naik. Ibarat kompor yang memanas-manasi keadaan.

Tidak sengaja mereka melihat orang yang sedang mereka bicarakan memasuki kantin. Alara membeli sebotol air mineral, kemudian membayarnya. Tepat saat Alara berbalik hendak keluar dari kantin, Sandra beranjak dan bergegas menghadang jalan gadis itu.

Alara menatap Sandra malas. Ia mencoba untuk mengambil jalan lain, tetapi Sandra ikut bergeser dan tetap menghalangi jalan Alara.

"Minggir," titah Alara mencoba untuk tetap tenang.

Tanpa mengatakan apapun, Sandra merebut botol minum yang Alara pegang. Gadis itu membukanya, dan menyiram wajah Alara menggunakan air mineral tersebut.

"Sandra!" teriak Alara terkejut sekaligus tidak terima. Sekarang wajah dan seragamnya basah gara-gara gadis itu.

"Itu hukuman buat lo!" balas Sandra tak kalah keras. Ia menunjuk wajah Alara dengan penuh rasa benci, "Gue udah pernah bilang sebelumnya, lo itu gak pantes buat Aska! Bahkan sekolah di sini aja, itu gak pantes buat lo. Tapi lo ternyata gak sadar-sadar, ya?!"

Sandra mendorong bahu Alara dengan marah, membuat Alara terdorong beberapa langkah ke belakang. "Jauhin Aska!" Sandra kembali mendorong Alara, "Jauhin dia, lo itu gak pantes—"

Kalimat Sandra terpotong ketika Alara mencengkeram tangannya yang hendak mendorong Alara lagi. Kedua mata Sandra melebar, tidak percaya kalau Alara ternyata memiliki cukup keberanian untuk menahan serangannya. Bahkan saat ini, gadis berambut sebahu itu dengan berani menatap mata Sandra.

Alara menghempaskan tangan Sandra dengan kasar. Gadis itu merebut kembali air mineral miliknya yang ada di tangan Sandra, kemudian menyiram wajah Sandra menggunakan airyang masih tersisa, persis seperti apa yang Sandra lakukan kepadanya.

Lulu dan Invia yang sejak tadi menonton, hampir berteriak ketika melihat Alara melakukan itu.

Sedangkan Sandra masih diam mematung, kehilangan kata-kata saking tidak percayanya.

"Dengar, ya, Sandra, kamu gak punya hak apapun untuk ngatur-ngatur aku," kata Alara sambil menunjuk wajah Sandra. Kesabarannya telah habis. Alara tidak bisa terus diam diperlakukan seperti ini. "Kamu gak punya hak apapun untuk menilai aku pantas atau enggak buat Aska. Kamu itu bukan siapa-siapa."

"Kurang ajar!" Tangan Sandra melayang, hendak memukul Alara, tetapi dengan mudah Alara menepisnya.

"Kamu pikir aku bakal biarin kamu nyakitin aku kayak sebelum-sebelumnya?" Alara tertawa sinis. "Kamu pikir aku takut?"

Sandra terdiam di tempatnya.

"Aku gak bakal tinggal diam lagi. Aku udah muak sama semua ini. Aku juga punya batas kesabaran," kata Alara sambil mendorong bahu Sandra. "Sekarang, aku bakal melawan setiap kamu ganggu aku," Alara mendorong Sandra lagi, "Aku bakal balas kamu setimpal!" Dorongan terakhir lebih keras dari sebelumnya. Semua yang Alara lakukan, sama seperti yang Sandra lakukan kepadanya.

Setelah itu, ia pergi dari sana. Meninggalkan Sandra yang masih mematung di tempat dengan wajah tidak percaya.

•••

Alara berlari menuju toilet. Ia memandang bayangan wajahnya yang ada di cermin dengan mata yang berkaca-kaca. Tangan Alara yang gemetar, membuka keran wastafel. Gadis itu mencuci wajahnya sendiri, berharap itu dapat membuat perasaannya menjadi lebih baik.

Tadi, entah datang keberanian dari mana, Alara berlaku nekat dengan melakukan semua itu. Sungguh, sedari tadi sebenarnya gadis itu mencoba menahan tangis. Baru kali ini Alara melawan salah satu orang yang telah merisak-nya bertahun-tahun, sampai menyiram dan mendorong. Alara bahkan tidak menyangka dirinya seberani itu.

Hanya saja sekarang Alara merasa resah. Apakah yang ia lakukan itu akan membawa dampak baik untuknya, atau malah sebaliknya?

•••

Alara berjalan di koridor sekolah dengan senyuman lebar. Satu bulan penuh tanpa ada gangguan dari Sandra, Lulu, dan Invia, membuat gadis itu merasa bebas. Seolah seluruh masalah di hidupnya hilang begitu saja. Alara merasa sangat bersyukur.

Semenjak kejadian di kantin hari itu, Sandra dan teman-temannya tidak pernah mengganggu Alara lagi. Alara merasa senang karena ternyata perlawanannya membawa dampak yang baik. Jika tahu seperti itu, Alara menyesal tidak melawan sejak dulu saja supaya penderitaannya di SMA Cemerlang bisa cepat-cepat diakhiri.

Alara berbelok dan menaiki tangga. Baru saat sampai di lantai dua, gadis itu teringat sesuatu. Dia menepuk jidatnya sendiri. Seharusnya sebelum ke kelas, dia mengembalikan buku yang ia pinjam ke perpustakaan. Buku-buku itu bahkan sudah ia bawa di tangan.

Karena sudah terlanjur ada di lantai dua, Alara melanjutkan perjalanan menuju kelas. Mengembalikan buku bisa nanti saat jam istirahat, pikirnya.

Alara memasuki kelas. Namun keseimbangan gadis itu goyah ketika sepatunya mengenai lantai kelas yang licin. Sedetik kemudian gadis itu jatuh ke lantai, bersama buku-buku yang ia bawa. Seluruh orang yang ada di kelas menertawakan kesialan Alara.

Ringisan pelan keluar dari bibir gadis itu. Alara bergegas membereskan buku-buku yang ada di lantai, supaya bisa segera pergi ke bangkunya. Namun suara langkah kaki beberapa orang terdengar. Perlahan Alara mengangkat wajah. Matanya terbuka lebar ketika melihat seorang gadis dengan rambut dikucir kuda berdiri paling depan, tepat di hadapannya.

Gadis berambut dikucir kuda itu mengulas senyuman miring dengan tangan yang dilipat di depan. Dagunya terangkat, menunjukkan keangkuhan. Matanya memandang Alara rendah, seperti biasa.

"Hai, udah lama kita gak ketemu."

•••

Sampai Jumpa Lagi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang