61: permohonan maaf (2)

31 14 0
                                    

Beberapa jam sebelumnya....

SMA Cemerlang.

Aska dan Erin duduk bersama di bangku taman, menunggu bel masuk berbunyi. Erin tampak merenung dalam, seolah tengah memikirkan sesuatu yang rumit.

"Gue mau berubah, Ka."

Aska menoleh dengan tatapan bingung.

"Setelah dipikir-pikir, sepertinya gue emang lagi kena karma atas segala perbuatan buruk gue. Gue cuma mikir ... kalau gue masih gak berubah juga dari sekarang, kira-kira karma apalagi yang bakal gue dapat di masa yang akan datang?"

Pertanyaan Erin itu membuat Aska tertegun. Dia setengah tidak percaya dengan apa yang Erin sampaikan.

"Kira-kira apa gue masih pantas untuk jadi orang baik?" Erin membuang napas kasar. Kepalanya menunduk, menatap rumput-rumput di bawah kakinya dengan rasa gusar. Gadis itu menoleh saat merasa kepalanya dielus dengan lembut.

"Gak ada orang yang gak pantas untuk menjadi lebih baik," ujar Aska sambil tersenyum. "Seperti yang pernah gue bilang, manusia selalu berubah dan berkembang. Manusia selalu bisa menjadi lebih baik. Semua tergantung niat."

Erin mengangguk. "Sekarang gue percaya." Gadis itu tersenyum malu. "Maaf karena sempet ngeyel."

Aska malah mengacak-acak rambut Erin sambil tertawa.

"Ish!" Erin mendengus, kemudian gadis itu tertawa riang. Entah sejak kapan, ia merasa begitu nyaman bersama Aska. Laki-laki itu selalu berhasil menenangkan hatinya, dan membuatnya merasa dimengerti. Terkadang Erin bertanya-tanya, akankah dia juga bisa memperlakukan Aska sebaik laki-laki itu memperlakukan dirinya?

Terkadang Erin merasa tidak begitu pantas untuk menjadi adik Aska.

"Makasih, karena udah ada."

Aska mengangguk pelan.

"Lo mau berubah, 'kan?"

"Iya,"

"Sekarang mungkin waktu yang tepat untuk meminta maaf." Aska memberi saran. "Lo bersedia, 'kan?"

Erin tersadar dari lamunan ketika seseorang menepuk bahunya. Gadis itu menoleh kepada Aska ---yang entah sejak kapan telah berdiri di sampingnya.

"Gimana? Udah agak lega?" tanya Aska. Erin hanya mengangguk lemas.

Setelah meminta maaf kepada Alara, Erin pamit untuk pulang. Aska pun ikut pamit untuk mengantar Erin. Mereka berdua kini tengah berjalan di koridor rumah sakit. Sejak keluar dari ruang rawat Alara, Erin banyak diam.

"Lo sedih karena Alara gak langsung maafin lo?"

Erin langsung menggeleng cepat. "Gak, bukan itu," bantahnya. "Lagian gue juga udah prediksi kalau Alara gak mungkin semudah itu maafin gue. Gue juga sadar diri kali, sebanyak apa gue udah mengacau di hidupnya."

Yang dikatakan Erin memang benar. Alara tidak langsung memaafkannya. Alara berkata bahwa dia membutuhkan waktu untuk memikirkan semuanya.

Jika dibilang kecewa, tentu saja. Namun, rasa kecewa itu sedikit teratasi karena sejak awal Erin sudah memprediksi jawaban Alara. Erin pernah membaca di sebuah buku, bahwa terkadang kita harus memikirkan kemungkinan terburuk, agar saat kemungkinan itu terjadi, kita tidak akan terlalu terkejut dan terluka.

Ternyata mengamalkan hal itu tidak ada buruknya juga.

"Oh, iya. Gue sebenernya gak akan pulang." Erin memberitahu. "Gue ada janji sama Liana di kafe."

Sampai Jumpa Lagi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang