37: asing

36 15 8
                                    

Seperti orang asing.

Setiap Alara bertemu dengan Aska, dia selalu memalingkan wajah dan menghindar. Sekeras apapun Aska berusaha untuk berbicara dengan Alara, gadis itu selalu menolak dengan tegas. Hanya usiran yang selalu Aska terima.

Hingga akhirnya, mereka kembali asing.

Saat berpapasan di sekolah, mereka hanya saling menatap tanpa bertegur sapa.

Semua sosial media Aska juga diblokir oleh Alara, hingga komunikasi mereka berdua di dunia maya benar-benar terputus.

Di sekolah, Aska lebih sering terlihat bersama Jerry dan teman-teman basketnya. Sedangkan Alara lebih sering terlihat sendiri. Terkadang jika Sean tidak membolos sekolah, laki-laki yang hobi memanjat pohon belakang gedung sekolah itu, mengganggu Alara —membuatnya kesal.

Entah sudah berapa lama semua itu berlangsung, yang pasti telah lebih dari dua minggu.

Rasanya lucu saat orang yang dulu sangat dekat tiba-tiba menjadi orang asing.

Terkadang rasa kesepian dan kehilangan mengusik hati Alara. Namun gadis itu tak mau mengulangi kesalahan yang sama, dengan percaya kepada orang yang salah. Lebih baik sakit, daripada bahagia tetapi hanya fiktif.

Mungkin, ini akhir dari kedua remaja itu.

Dipertemukan untuk berakhir menjadi orang yang saling tak mengenal.

Lelucon semesta memang selucu ini.

Dalam langkahnya menuju kelas itu, Alara melamun. Meski telah asing, nyatanya segala tentang Askara masih menjadi pusat pikiran seorang Alara. Rasanya benci, ketika ia masih terjebak masa lalu dan tak bisa melangkah maju. Hatinya ingin melupa, tetapi apadaya tak mampu.

Langkah Alara terhenti ketika ia tak sengaja melihat Aska melewat bersama teman-temannya —menaiki tangga. Aska sama sekali tidak menatap ke arahnya. Entah sengaja tidak ingin berkontak mata, atau memang tidak mengetahui keberadaan Alara. Yang pasti ... Alara tidak akan peduli lagi.

Tiba-tiba saja Alara jatuh tersungkur ketika seseorang menabraknya dari belakang. Dia meringis ketika melihat sikunya lecet. Bahkan semua buku-buku yang ia bawa jatuh berserakan. Gadis itu mendongak untuk melihat siapa orang yang menjadi penyebab ia jatuh.

Tangan Alara terkepal ketika melihat wajah angkuh beserta senyuman sinis itu. Setiap Alara melihatnya, gejolak amarah dan kebencian selalu berhasil memenuhi perasaannya.

"Dasar gak tahu malu. Udah dibuang, masih aja merhatiin Abang gue!" Erin melirik jijik sambil memutar bola matanya. "Yah, wajar sih. Buat cewek 'nol' kayak lo, dideketin cowok tajir dan populer itu pasti segalanya. Makanya meski udah ditinggalin, lo masih berusaha untuk ngejar-ngejar Abang gue. Murahan banget sih."

Alara memandang Erin tajam. Gadis itu segera bangkit, tanpa merapikan buku-bukunya terlebih dahulu. Matanya menatap mata Erin dengan berani. Sesuatu yang tak bisa Alara 'lama' lakukan.

Erin di tempatnya sedikit merasa terintimidasi. Namun, gadis itu pintar menutupi perasaan. Raut wajahnya sama sekali tidak berubah. Seolah tak terpengaruh sedikit pun.

Namun tanpa diduga-duga, Alara malah tersenyum ke arah Erin.

"Kenapa lo senyum?" Kening Erin berkerut bingung, "Lo gak marah gue katain murahan? Atau mungkin lo seneng gue katain murahan? Jangan-jangan itu emang bener?"

Sandra, Lulu, dan Invia yang berdiri di samping Erin tertawa menanggapinya.

"Aku gak marah sama sekali," kata Alara dengan sangat tenang, "justru aku malah penasaran, apa tujuan kamu lakuin ini?"

Satu alis Erin terangkat.

"Saat seseorang menyerang aku, dengan perlakuan atau perkataan kasar, tanpa ada sebab yang jelas," Alara memperhatikan Erin dari bawah sampai atas, kemudian tersenyum sinis, "selama ini, itu yang kamu lakuin, 'kan?" Alara kemudian maju satu langkah, memperpendek jaraknya dengan Erin, "sejak lama aku penasaran, apa alasan kamu lakuin itu? Apa tujuan kamu? Sekarang aku udah tahu."

Tatapan Erin berubah menjadi lebih tajam dari sebelumnya. Tangan gadis itu sedikit gemetar. Erin buru-buru menutupinya dengan melipat kedua tangannya dengan angkuh.

"Gue cuma seneng lakuin ini. Lo tahu, gue bisa melakukan apapun yang menurut gue menyenangkan, termasuk merisak lo!" Erin mendorong Alara dengan keras.

Alara sedikit terdorong beberapa langkah ke belakang, tetapi dengan cepat gadis itu kembali tegak, bahkan lebih kokoh dari sebelumnya.

"Itu bukan alasan utama kamu," sangkal Alara dengan berani, "kamu selalu merundung aku bukan karena kamu senang, justru karena kamu ... gak bahagia." Ucapan Alara itu sukses membuat Erin mematung di tempat.

"Beraninya lo—"

"Berhenti bohongin diri kamu sendiri!" potong Alara dengan nada agak keras, membuat orang-orang di koridor mulai menatap ke arah mereka. Tangan Alara terkepal kuat. Kedua matanya mulai memanas. "kamu itu gak lebih dari manusia menyedihkan yang berusaha menutupi rasa inferior kamu dengan mengganggu proses orang lain."

Kedua mata Erin membeliak. Bak panah yang berapi, kata-kata itu tepat menusuk ke jantung hatinya. Seperti disambar petir tengah hari. Erin hanya bisa berdiri kaku dengan lidah yang terasa kelu, kehilangan kata-kata.

Satu sudut bibir Alara terangkat. "Kamu pikir aku gak akan tahu?" katanya dengan tatapan tajam yang tertuju kepada Erin, "tujuan kamu itu mendapatkan peringkat pertama."

Awalnya Alara berpikir, kenapa selama ini Erin bersemangat untuk membuatnya menderita? Setelah ia mengingat-ingat satu per satu yang Erin lakukan kepadanya, Alara mulai mendapatkan petunjuk. Apalagi saat ia mengingat Erin pernah marah ketika ia mendapat nilai tertinggi di kelas. Hal itu menunjukkan bahwa alasan Erin merundungnya adalah karena nilai.

"Jaga omongan lo—"

"Pertama, kamu ngeganggu Liana, dan menyingkirkan dia dari jalan kamu," potong Alara dengan cepat, emosinya telah lama menumpuk di dada, "Tersingkirnya Liana jelas menguntungkan buat kamu, karena dengan itu, peringkat kamu bisa naik satu tingkat."

Erin kehilangan kata-kata.

"Dan kamu juga ganggu aku," Alara buru-buru melanjutkan, "kamu berusaha menyingkirkan aku, tapi sayangnya aku bukan Liana. Sebanyak apapun kamu mencoba, kamu tetep gak bisa aku dari jalan kamu. Meski begitu ... kamu tetap ganggu aku. Berharap bahwa itu berguna, dan itu bisa menghambat proses belajar aku.

"Ibarat lomba lari, bukannya fokus lari menuju garis finis, kamu malah sibuk nabur pecahan kaca di jalan aku. Supaya kaki aku luka, dan aku kesulitan mencapai garis finis. Kamu pikir dengan itu ... kamu bisa berlari lebih cepat dari aku. Kamu bisa sampai di garis finis lebih dulu dan jadi juara satu.

"Kenapa kamu milih curang, padahal bisa lomba dengan sportif? Karena kamu tahu kamu gak mampu," tegas Alara, "dan sayangnya ... meski dengan cara kotor pun, kamu tetep kalah."

Entah sejak kapan, mata Erin mulai memerah dan berair.

Meski mungkin mulutnya akan bersikeras menyangkal dengan seribu satu alasan, kenyataannya ... hati terkecil Erin mengakui bahwa yang Alara katakan adalah benar.

Perumpamaan yang Alara gunakan sangatlah Erin mengerti. Lomba lari yang dimaksud adalah sistem peringkat kelas. Garis finis yang dimaksud adalah peringkat pertama. Dan pecahan kaca yang ditabur adalah perundungan yang ia lakukan.

Jika diperumpamaan itu Erin melukai fisik Alara untuk mengalahkannya, dalam realita Erin merusak mental Alara untuk membuatnya kalah.

"Seharusnya aku sadar itu sejak awal," ujar Alara sambil menghela napas, "kalau tahu gitu, aku gak akan marah sama kamu, justru aku ngerasa kasihan."

Erin semakin mengepalkan tangannya.

Alara kembali melangkah mendekati Erin. Gadis itu memegang kedua bahu Erin sambil mengulas senyuman manis, "tapi meski kasihan, bukan berarti aku akan mengalah," bisiknya dengan lembut, tetapi tatapannya setajam pedang, "kita lihat, siapa yang akan kalah nanti."

•••

Sampai Jumpa Lagi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang