Lelah terasa memberatkan punggung Aska. Setelah bel pulang sekolah berbunyi, laki-laki itu berjalan menuju parkiran dengan lesu. Mata cokelatnya menyorot kosong. Kakinya melangkah lambat. Pikirannya entah sedang melayang ke mana. Dalam keadaan itu, seseorang tiba-tiba saja memegang tangannya, membuat Aska mengerjap dan kontan menoleh.
"Ka?" panggil Alara dengan nada pelan.
Aska agak sedikit kaget dengan kedatangan Alara, tetapi dengan cepat ia mengontrol ekspresinya agar terlihat normal. "Ya?"
Alara melepaskan cengkeraman di lengan Aska dengan salah tingkah. Suasana mendadak terasa sangat canggung. Gadis berambut sebahu itu menunduk, kebingungan untuk merangkai kata. "Itu ...."
"Gue lakuin sesuatu yang seharusnya gue lakuin," potong Aska, dengan cepat dapat menangkap apa yang hendak Alara sampaikan. Laki-laki itu tersenyum, "bagaimana pun juga apa yang Erin lakuin tadi bener-bener kelewatan," Ekspresi Aska berubah sendu ketika ia mengatakan hal tersebut, "gue tahu, mungkin ini sama sekali gak begitu berguna buat lo, tapi ... gue mau minta maaf atas nama Erin. Selama ini ... dia terlalu banyak mengacau di kehidupan lo."
Mendadak mata Alara terasa panas. Gadis itu menunduk sambil mengepalkan tangan. Mencoba untuk tidak bersikap emosional.
"Lo gak perlu langsung maafin, juga gak papa, kok," ujar Aska sambil tersenyum menyentuh bahu Alara, "itu hak lo, dan gak seharusnya seseorang menghakimi sesuatu yang bukan hak mereka."
Tiba-tiba saja Alara menangis. Buru-buru gadis itu menyeka air mata yang jatuh itu, sebelum terlalu banyak membuat wajahnya basah. "Makasih," bisik Alara lirih di sela tangis, "makasih karena selalu bantu aku."
Jika Aska tidak menunjukkan rekaman suara itu, mungkin sekarang Alara sudah dinyatakan keluar dari SMA Cemerlang. Karena orang tua Erin memiliki kekuasaan yang kuat di sekolah. Tak sulit bagi mereka mendepak Alara keluar dengan kasus penganiayaan yang menyeret namanya. Alara tidak akan dibiarkan membela diri.
Lain halnya dengan Erin. Meski kini rencananya sudah terbongkar, dan telah tertangkap basah sengaja menciptakan drama yang membuat heboh satu sekolah, gadis itu tetap aman di bawah kekuasaan orang tuanya. Tak ada hukuman yang berarti, hanya nasihat dan teguran yang gadis itu terima dari Bu Lusi.
Hidup terkadang memang tidak adil.
Mengeluh pun tak ada gunanya.
"Jangan nangis lagi," kata Aska sambil menepuk-nepuk bahu Alara pelan, mencoba untuk menenangkan gadis itu, "Lo harus kuat."
Alara mengangguk. Tangisnya agak reda. Gadis itu mengangkat wajah, tersenyum tulus kepada Aska. "Sekali lagi, terimakasih karena telah ada."
Beberapa saat Aska tertegun, hingga akhirnya laki-laki itu mengangguk dan tersenyum. "Makasih, karena udah mengapresiasi kehadiran gue."
Hari itu Aska pulang dengan perasaan sedikit lega dari sebelumnya. Melihat Alara, entah kenapa seolah beban yang sejak tadi ia tanggung menghilang begitu saja. Aska pulang mengendarai motor seperti biasa. Jalan raya yang macet cukup mengulur waktu pulangnya ke rumah.
Setelah dipikir-pikir ... mungkin kehadiran Aska di rumah itu tidak akan disambut baik. Entah apa yang akan laki-laki itu alami, tetapi yang jelas, Aska tidak akan takut untuk menghadapinya. Bahkan meski itu adalah hukuman terburuk yang bisa ia dapatkan —diusir keluar dari kediaman Adhikari. Aska akan mencoba ikhlas.
Tak sengaja Aska melihat seorang siswi SMA sedang membantu seorang nenek-nenek mengumpulkan jeruk ---yang berserakan di trotoar. Melihat itu Aska meminggirkan motor, dan segera turun untuk ikut membantu.
Ketika sedang mengumpulkan jeruk-jeruk itu, tak sengaja Aska melihat wajah siswi SMA tersebut. Beberapa saat pandangan Aska terkunci pada wajah cantik itu. Sorot matanya sedikit membuat Aska tertegun di tempat.
Mereka berdua selesai memasukkan jeruk-jeruk milik si nenek ke dalam kantong plastik besar. Nenek tersenyum sambil mencoba untuk memegang bahu kedua remaja itu dengan badannya yang sudah bungkuk. "Makasih, ya, Dek, udah tolong nenek."
"Sama-sama, Nek," ujar gadis berambut panjang itu sambil memberikan kantong plastik jeruk itu kepada si nenek, "hati-hati, ya, Nek. Kadang pengendara motor sering naik ke trotoar kalau lagi macet gini. Padahal trotoar untuk pejalan kaki."
Nenek itu mengangguk, dan berjalan melanjutkan tujuannya.
Kini tersisa Aska dan gadis itu. Suasana mendadak terasa canggung.
"Shaki?" sebut Aska tanpa sadar, membuat gadis itu terkejut.
Saat melihat wajah gadis itu, Aska langsung dapat mengenalinya. Gadis itu adalah gadis yang bersama dengan Liana di rumah sakit dulu, saat Aska sedang menjenguk Erin yang baru siuman dari koma. Yang Aska tahu, Liana memanggil gadis itu dengan nama 'Shaki'. Nama yang sama seperti nama milik adik kandung Aska yang saat ini entah berada di mana.
"Kok tahu nama gue?" tanya gadis itu kaget. Ia tidak mengingat bahwa mereka pernah bertemu sebelumnya di rumah sakit.
Aska gelagapan, mencoba untuk mencari alasan. "I–itu ... gue tahu dari name tag yang lo pake," jawab Aska sambil menunjuk name tag yang menempel di seragam gadis itu. Nama Shakila Kinara tertera di sana.
Shaki tertawa sambil menggeleng pelan. "Iya juga, ya." Gadis itu tersenyum canggung. Matanya mengarah pada seragam Aska yang sayangnya tertutupi jaket Levis. Padahal tadi ia berniat untuk melihat name tag laki-laki itu, supaya dapat mengetahui siapa namanya.
"Nama gue Askara." Aska mengulurkan tangannya, berniat untuk mengajak berkenalan. Gadis di hadapannya itu dengan senang hati menerima jabatan tangan Aska.
"Shakila."
Aska tersenyum tipis.
Sebenarnya saat Aska menyebutkan namanya, laki-laki itu berharap bahwa gadis di hadapannya akan bereaksi lebih dari itu. Aska sedikit berharap bahwa gadis itu adalah Shaki yang sama dengan Shaki adiknya ---yang sejak kecil telah berpisah dengannya.
Namun, yang bernama Shaki di dunia ini juga tidak hanya satu.
Lagipula bagaimana Aska bisa lupa bahwa nama adiknya adalah Shakira, bukan Shakila?
Mungkin benar, Aska terlalu banyak berharap.
"Gue gak berekspektasi kalau bakal ada pengendara motor yang berhenti, dan bantu nenek itu ngumpulin jeruk-jeruknya yang jatuh gara-gara disenggol pengendara motor lain yang jalan di trotoar," kata Shaki sambil tersenyum, "dan gue juga gak nyangka gara-gara itu gue punya kenalan baru."
Aska mengangguk. "Sebelumnya gue sempet kenal seseorang yang namanya Shaki," katanya sambil menatap lurus ke depan, "Lo sedikit ngingetin gue sama dia."
"Karena nama kita sama?"
Lagi-lagi Aska mengangguk.
Beberapa saat gadis itu terdiam, seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Sejujurnya ... gue ngerasa pernah denger nama lo sebelumnya,"
Aska menoleh ketika Shaki mengatakan itu. Ada harapan yang jelas terpancar dari mata jernihnya. Mendadak entah kenapa, jantung Aska berdetak lebih kencang.
"Kayaknya gue sempet denger nama lo dari seseorang, mungkin temen gue," lanjut Shaki sambil tertawa kaku. Sedikit membuat Aska lesu di tempat. "Oh, iya, kayaknya gue harus pergi sekarang deh. Gue udah telat buat bimbel." Shaki menatap jam tangan hitam miliknya dengan cemas. "Gue duluan, ya?"
Aska hanya diam saat melihat Shaki memberhentikan sebuah angkot dan naik ke dalam sana. Matanya tak berhenti menatap ke arah gadis itu, bahkan hingga angkutan umum itu melaju. Perlahan, Aska menghela napas berat.
Mungkin karena sudah terlalu lama, dan Aska sangat rindu. Itu sebabnya ia sangat berharap bahwa Shakila adalah adik kandungnya, dan mereka kembali bertemu setelah remaja. Namun tampaknya, semua hanya harapan palsu semata.
Perlahan Aska melangkah menuju motornya yang masih terparkir di pinggir jalan. Setelah naik, laki-laki itu menyalakan mesin, dan mulai melaju melanjutkan perjalanan menuju rumah. Kali ini perasaannya sedikit kacau.
Sekelebat kenangan tentang Shaki kembali melintas di ingatan Aska.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampai Jumpa Lagi [Selesai]
Dla nastolatkówAska harus pindah ke SMA Cemerlang setelah adiknya -Erin- menjadi korban tabrak lari dan berakhir koma di rumah sakit. Dia ditugaskan sang Papa, untuk mengawasi seseorang di sekolah itu. Orang yang sama dengan orang yang pernah dia selamatkan. Haru...