59: saudara

38 12 0
                                    

"Alara!"

Alara yang sedang terbaring di brankar rumah sakit menoleh ketika mendengar namanya dipanggil. Dapat ia lihat Sean sedang berlari ke arahnya dengan mengenakan seragam sekolah. Seharusnya sekarang cowok itu sedang berada di sekolah, karena jam 7 telah lewat 15 menit yang lalu.

"Lo kenapa bisa kecelakaan?" Sean langsung bertanya dengan nada marah ketika sampai. Laki-laki itu memegang tangan Alara dengan erat. "Syukurlah, lo baik-baik aja sekarang."

Alara tersenyum. Ia baru saja mengabari Sean tentang kecelakaannya sekitar dua puluh menit yang lalu, dan sekarang kakak tirinya itu sudah berada di hadapannya. "Aku naik ojek, terus pas di jalan raya motor kita kesenggol mobil sampai jatuh. Untung aja kendaraan di belakang kita masih sempat ngerem. Mungkin kalau enggak, udah beda cerita," jelas Alara.

Sean meringis ngeri mendengar cerita Alara. "Kenapa juga lo harus naik ojek?!" Tiba-tiba saja Sean malah mengomel. "Kalau lo mau pergi-pergian, gue bisa anter lo. Setidaknya kalau gue yang anter lo, gue bakal pastiin lo sampai dan pulang dengan selamat! Gak bakal kayak gini!"

Alara hanya berkedip bingung mendengar omelan Sean.

"Lo habis nangis?" Sean bertanya saat menyadari mata merah dan sembab milik Alara. Saat ditanya tentang itu, Alara terlihat terkejut dan langsung memalingkan wajah.

Jangankan tidur, semalam Alara menangis meski tanpa suara. Bahkan Silvi yang melihat hal itu merasa sangat khawatir, karena mengira Alara menangis karena kesakitan setelah kecelakaan. Silvi berniat untuk memanggil dokter supaya Alara ditangani, tetapi Alara terus menolak.

Karena fisiknya tak begitu sakit. Yang sangat perih adalah perasaannya.

Setelah berbincang sebentar dengan Aska kemarin, Alara memanggil Silvi untuk datang. Tepat saat Silvi datang, Alara menyuruh Aska untuk pulang meski laki-laki itu bersikeras untuk menemani. Pada akhirnya Aska pulang, dan baru setelah itu Alara menangis kembali.

Rasanya terlalu sulit untuk diterima.

Sampai saat ini, Alara masih sukar untuk menerima kenyataan bahwa ia dan Aska adalah sepasang saudara kembar yang telah lama berpisah.

"Mulai saat ini, cuma ada Aska dan Shaki, bukan Aska dan Alara."

"Aku mungkin harus mulai panggil kamu Shaki, supaya aku gak lupa kalau kamu itu saudari kembar aku."

"Juga supaya aku selalu ingat untuk menghapus perasaan ini."

Mengingat kembali apa yang Aska katakan kemarin malam membuat tangis Alara kembali keluar. Gadis itu memang selalu berubah menjadi begitu emosional jika menyangkut perasaan. Sejujurnya, Alara sendiri sangat membenci sisinya yang lemah seperti ini.

"Lo kenapa nangis, Ra?" tanya Sean dengan panik ketika melihat Alara tiba-tiba menangis. "Kalau sakit banget, gue panggilin dokter, ya?" Baru saja Sean akan berbalik pergi, tetapi Alara menahan tangannya. Gadis itu menggeleng pelan, memberi isyarat tidak perlu.

Sean menghela napas. Laki-laki itu kembali menatap Alara dengan cemas, menggenggam tangan gadis itu dengan erat. "Coba cerita ada apa? Gue rasa lo nangis karena punya masalah," kata Sean dengan sorot tulus. "Bagi sama gue."

Hanya bungkamnya Alara yang Sean lihat. Namun dia dapat membaca perasaan Alara dari sorot mata gadis itu. Meski tak mengetahui masalah apa yang sedang Alara hadapi, Sean merasa apa yang sedang Alara alami bukanlah perkara mudah.

"Ok, no problem." Sean menarik kursi yang ada di sana, dan duduk di samping brankar Alara sambil bertopang dagu. Menunjukkan wajah cemberut. "Gue bolos hari ini demi jenguk lo, asal lo tahu. Dan apa yang gue dapet? Lo yang nangis-nangis?"

Sampai Jumpa Lagi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang