36: kecewa

41 14 15
                                    

Suara isak tangis terdengar di bawah pohon mangga. Entah kali keberapa Alara menangis di sana. Satu-satunya tempat yang terpikir olehnya setiap menangis adalah, kebun belakang sekolah yang jarang di kunjungi siswa lain.

Kecewa.

Perasaan terbesar yang saat ini sedang memenuhi rongga dada gadis itu.

Menyakitkan saat tahu bahwa orang yang paling dipercaya, adalah orang yang melakukan pengkhianatan terbesar.

Dikhianati oleh teman lebih menyakitkan daripada dijahati oleh seorang musuh. Karena teman adalah orang yang terdekat, andalan, dan terpercaya. Berbeda dengan musuh yang memang sejak awal tidak bisa dipercaya.

Sekarang Alara sadar.

Menyimpan kepercayaan penuh kepada manusia adalah sumber dari kekecewaan.

Seharusnya, sejak awal Alara tidak perlu mempercayai siapapun jika berujung menambah luka.

"Nangis lagi?"

Suara itu terdengar dari atas pohon. Tanpa perlu Alara lihat, ia sudah tahu siapa yang berbicara. Cukup dari suaranya saja Alara dapat mengenalnya. Lagipula siapa lagi orang di SMA Cemerlang yang suka memanjat pohon di kebun belakang sekolah selain, Osean.

Sean menghela napas berat. Setelah lama tak melihat Alara di tempat ini, sekarang Alara kembali datang, dengan kondisi yang sama. Sean sampai tidak habis pikir. Kenapa ia selalu bertemu dengan Alara dalam keadaan seperti ini.

Cowok dengan dasi diikat di kepala itu melompat turun dari atas pohon mangga. Ia berdiri di depan Alara dan menggeleng, saat melihat Alara yang sedang menangis sambil memeluk lututnya.

"Cengeng," ledek Sean seenaknya.

Tidak ada balasan.

"Cewek cengeng, lemah, tukang nangis,"

Masih tidak ada balasan.

Sean memandang Alara dengan sebal.

"Udah cengeng, gak bisa renang lagi!"

Alara mengangkat wajah. Matanya yang penuh air mata itu memandang Sean dengan sorot hampa, "iya, emang bener, kok. Aku itu kayak sampah."

Sean agak terkejut dengan respon Alara. Ia kira Alara akan membalas mengatainya atau marah-marah karena tidak terima diejek. Namun ternyata? Sean merapatkan bibir. Mendadak merasa bersalah.

"Yang bilang lo kayak sampah, siapa?" tanya Sean sambil bertolak pinggang, "gue cuma bilang lo cengeng, lemah, tukang nangis, dan gak bisa renang!"

Hening.

"Lo bisa bantah kalau gak terima," lanjut Sean dengan nada yang berubah rendah, ketika melihat tatapan tajam yang ditujukan Alara kepadanya, "Lo ... juga bisa mukul, nendang, atau jambak rambut gue kalau lo mau ...."

Alara mengalihkan pandangan ke lain tempat. Tangisnya telah sedikit reda. Gadis itu berusaha menghapus jejak air mata yang ada di wajahnya, kemudian berdiri.

"Lo mau apa?" tanya Sean dengan sedikit was-was, "mau ... mukul, nendang atau jambak rambut gue?" lanjutnya lagi dengan wajah polos.

Alara melirik Sean sekilas, kemudian berjalan pergi dari sana tanpa menjawab pertanyaan cowok itu. Kontan hal itu membuat Sean kesal karena merasa tidak dihiraukan.

"Eh, songong ya!" Sean berkacak pinggang sambil menunjuk ke arah Alara yang semakin menjauh dari pandangannya. Dengan bergegas cowok itu bergerak mengejar Alara.

•••

Aska meremas rambutnya frustasi. Rasanya seperti dunia berubah kacau. Tangannya meninju tembok di hadapannya dengan keras berkali-kali. Melampiaskan emosi yang bergejolak dalam diri. Seolah tangannya mati rasa hingga ia tak merasakan sakit apapun. Yang ia rasakan hanyalah sakit yang berkecamuk di balik dadanya. Sakit karena telah menyakiti orang yang ia sayangi.

Sampai Jumpa Lagi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang