04: Alara Pertiwi

86 26 6
                                    

WARNING!

Part ini berisi adegan kekerasan sekolah.

Tidak untuk ditiru.

•••

Suara ketukan pintu membuat gadis yang sedang terlelap itu terusik dari tidurnya. Perlahan kedua mata itu terbuka, menunjukkan netra berwarna cokelat terang yang masih terlihat mengantuk. Dengan malas gadis itu beringsut duduk dan turun dari kasur untuk berjalan menuju pintu.

Pintu terbuka, menampakkan seorang wanita paruh baya yang tengah berkacak pinggang dengan wajah marah.

"Udah jam setengah enam. Kamu gak mau siap-siap buat sekolah?" tanya Silvi kepada putrinya. "Atau kamu mau bolos kayak sebelum-sebelumnya?"

Alara menghela napas berat. Kepalanya menunduk lesu, seolah tak memiliki semangat lagi. Semenjak pulang dengan keadaan basah karena kehujanan beberapa hari yang lalu, gadis itu selalu berdiam diri di kamar dan enggan untuk pergi sekolah. Alara menunjukkan sikap aneh. Bahkan tanpa memberi tahu Silvi, gadis itu menggunting rambutnya menjadi sebahu dan tanpa poni.

Padahal Alara pernah mengatakan bahwa ia menyukai rambut panjang.

"Kamu ada masalah di sekolah? Sini cerita. Daripada terus bolos kayak gitu? Uang SPP buat satu bulan sekolah kamu mahal, Ra. Mama kerja keras supaya kamu bisa sekolah, tapi kamu malah malas kayak gini?" Silvi mulai mengomel. Merasa tidak bisa lagi sabar menanggapi putrinya itu. "Mama sampai harus bohong ke guru dengan bilang kamu lagi sakit supaya kamu gak alpa. Masa Mama harus bohong lagi hari ini?"

"Maaf."

"Mama gak butuh maaf kamu, Ra. Mama cuma butuh ketekunan kamu dalam belajar. Jangan malas sekolah kayak gini," ujar Silvi sambil menghela napas berat.

Alara masih menunduk sambil meremas ujung piyama yang dia pakai. Mendengarkan setiap ucapan Silvi baik-baik. Jantungnya berdegup kencang. Dia ingin mengatakan sesuatu kepada ibunya, tetapi lidahnya terasa kelu. Sehingga semua yang ingin dia keluarkan masih tertahan di tenggorokan.

"Se-sebenarnya-"

"Mending kamu mandi dulu, daripada nanti telat berangkat ke sekolah." Sebelum Alara berhasil mengatakan unek-uneknya, lebih dulu Silvi memotong, membuat gadis itu nengurungkan niat untuk mengatakan apa yang sudah dia pendam sendirian selama ini.

Silvi menatap putrinya sambil dengan satu alis terangkat "Kenapa bengong? Kamu masih gak mau sekolah hari ini?"

"Aku bakal sekolah." Alara menjawab pelan.

Setelah ibunya pergi, baru gadis itu menutup pintu kamar dan jatuh duduk ke lantai sambil bersandar, memeluk lututnya sendiri dengan tangan gemetar.

Bukannya Alara malas sekolah. Hanya saja sekolah itu terlalu banyak menyimpan kenangan-kenangan buruk bagi dirinya, hingga membuatnya tak mau lagi pergi ke sana. Setiap memikirkan untuk pergi sekolah, dia selalu merasa gelisah dan takut. Sulit bagi dirinya untuk terus bertahan dan menghadapi semuanya.

Alara lelah.

Tahun pertama dia bersekolah di SMA Cemerlang, semua masih baik-baik saja. Meski terlalu pendiam, Alara masih memiliki beberapa teman dekat. Namun ketika bisnis ayahnya bangkrut, keadaan ekonomi keluarga Alara memburuk. Singkatnya, Alara jatuh miskin. Dan entah ada apa, setelah itu orang-orang mulai menjauh dan merundungnya.

Semua berawal dari Erin yang selalu menyombongkan kekayaannya, sambil merendahkan Alara di setiap kesempatan. Terkadang Erin dan teman-temannya juga tak segan menghina Alara secara terang-terangan dengan dalih bercanda. Awalnya hanya teman-teman Erin saja yang tertawa. Lama-lama teman sekelas Alara ikut-ikutan menjadikannya bahan lelucon. Mulanya dia tidak peduli dan menganggap mereka semua hanya bercanda, tetapi ternyata semua perlahan berubah menjadi serius.

Sampai Jumpa Lagi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang