62: jika pergi lagi

38 13 0
                                    

Di atas rooftop rumah sakit, Aska dan Sean berdiri memandang pemandangan kota di bawah sana. Semilir angin menerpa kulit mereka. Sejak tadi hanya ada keheningan. Sean merasa muak dengan suasana kaku itu. Dia menatap Aska dengan tatapan jengkel.

"Kenapa lo nyuruh gue ke sini?" tanyanya.

Sebetulnya Sean sangat malas saat Aska mengajaknya untuk berbicara di rooftop. Bagaimana pun juga, dia masih melihat Aska sebagai musuh. Hanya saja Sean tidak bisa menolak ajakan itu, saat Aska mengatakan ingin membicarakan sesuatu hal penting mengenai Alara.

"Kalau gak ada yang penting, gue mau balik ke ruangan Alara." Baru saja Sean akan berbalik untuk pergi, Aska tiba-tiba saja berbicara.

"Gue dan Alara itu saudara."

Ucapan tersebut membuat Sean mengurungkan niatnya untuk pergi. Laki-laki itu memandang Aska dengan sorot aneh. "Ngomong apa lo?"

Aska tersenyum kecut. "Kenyataan."

Sean semakin dibuat kebingungan.

"Lo tahu Alara bukan anak kandung orang tuanya?" Pertanyaan Aska itu membuat Sean teringat dengan Alara yang pernah mengatakan bahwa dia bukan anak kandung Jonathan.

"Oh itu ..., gue tahu." Sean manggut-manggut meski masih bingung.

"Nah, gue juga bukan anak kandung orang tua gue," ungkap Aska, masih rancu. "Gue dan Alara itu sama-sama anak adopsi dari panti asuhan yang sama."

Sean melongo, setengah tidak percaya dengan apa yang Aska ungkapkan.

"Gue juga sebenarnya baru tahu belum lama tentang fakta ini." Aska tertawa hambar, memandang ke bawah sana dengan sorot hampa. "Ternyata Alara itu saudari kembar gue. Kita terpisah karena gue diadopsi lebih dulu oleh keluarga Erin."

Di tempatnya, Sean masih mencoba untuk mencerna setiap kalimat Aska. Jelas dia tidak mau langsung percaya begitu saja. Bisa jadi, Aska hanya sedang mempermainkannya.

"Lo gak usah bercanda. Gak lucu."

Aska menoleh dengan wajah serius. "Gue gak main-main," tegasnya. "Kalau lo gak percaya, lo bisa tanya ke Alara tentang hal ini."

Melihat kesungguhan di mata Aska, membuat Sean bungkam.

"Gue punya ikatan darah sama dia, sementara lo enggak." Aska menatap Sean penuh arti. "Gue harap lo gak akan sia-siain hal ini. Gue tahu lo sayang sama dia."

Sean menunduk diam.

"Gue harap lo bisa jaga dan lindungi Alara kalau gue gak ada. Buat dia bahagia, dan jangan biarin dia sedih. Gue percaya sama lo." Aska tersenyum sambil memegang bahu Sean.

"Kenapa lo ngomong gitu?" tanya Sean. "Lo mau ke mana?"

Aska membuang napas kasar. "Gue mau pindah," akunya dengan berat hati. "Gue rasa gue gak mungkin bisa lupain perasaan gue ke Alara, sekuat apapun gue mencoba. Gue gak yakin, apakah gue melihat dia sebagai Shakira atau Alara?"

Mata Aska menerawang ke depan dengan sorot hampa. "Gimana pun juga gue gak mungkin melawan takdir. Gue sama dia itu gak mungkin. Perasaan gue ini sebuah kesalahan. Sebelum semakin terjerumus, gue harus secepatnya pergi."

Sean mengerti dengan apa yang Aska rasakan, karena ia pun sempat berada di posisi yang sama. Bedanya posisi Aska saat ini jauh lebih berat dan pelik dari dirinya.

Sean menghela napas. "Tanpa lo suruh pun, sebenarnya gue akan selalu jaga Alara dan berusaha untuk buat dia selalu bahagia. Karena ini murni keinginan gue. Tanpa harus ada yang suruh."

Aska tertawa. "Iya-iya. Gue tahu lo tulus sama Alara." Mata Aska sedikit berkaca-kaca saat mengatakannya.

Aska hanya semakin menyadari, bahwa dia bukan takdir Alara.

Sampai Jumpa Lagi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang