40: pengkhianat?

37 14 11
                                    

Erin memucat di tempat. Gadis itu membelalakkan mata ketika melihat Aska mengeluarkan handphone dan mulai memutar sebuah rekaman suara dari benda pipih tersebut. Tangannya terkepal kuat ketika rekaman percakapan dua orang itu terdengar. Erin benar-benar merasa dikhianati.

Beberapa saat yang lalu ....

Aska membantu Erin menuju UKS. Di sana luka-luka Erin diobati oleh anak-anak PMR yang sedang bertugas. Setelah selesai mengobati luka-luka itu, Erin berbaring di ranjang UKS untuk beristirahat. Saat anak-anak PMR sudah keluar dari ruangan, baru ketika itu Aska masuk dan menghampiri adiknya.

"Gimana keadaan lo? Lo baik-baik aja, 'kan?" tanya Aska cemas. Keadaan Erin saat ini cukup mengkhawatirkan. Meskipun sejujurnya, Aska tidak terlalu percaya dengan apa yang baru saja ia lihat tadi.

Alara menganiaya Erin, mungkinkah?

Selama ini Aska merasa Alara bukanlah seseorang yang berani melakukan hal nekat semacam itu. Namun, manusia selalu berubah, bukan? Semua kemungkinan bisa saja terjadi, dan yang tahu kebenaran mutlak adalah orang-orang yang terlibat pada kejadian itu —Erin dan Alara.

"Apa perlu gue panggil dokter?"

"Gak usah," potong Erin dengan cepat, "mending lo telpon Mama Papa aja. Kasih tahu keadaan gue, dan suruh mereka ke sekolah."

Aska mengangguk. "Selain itu ..., lo butuh sesuatu yang lain?"

Erin menggeleng.

Beberapa saat Aska terdiam untuk berpikir. Ia menatap adiknya dengan lekat.

"Sebenernya ... apa yang terjadi?" tanya Aska pada akhirnya. Laki-laki itu menatap Erin dengan sedikit sorot curiga. "Tolong cerita yang sejujur-jujurnya," lanjutnya sambil diam-diam menyalakan perekam suara yang ada di handphone-nya.

Erin memutar bola mata malas. "Alara balas dendam dan nyiksa gue. Lo gak liat tadi?"

"Sejujurnya ... gue gak percaya."

"Cih, udah gue duga," Erin tertawa pelan sambil memalingkan wajah, "Lo selalu memandang gue sebagai pelaku, dan Alara sebagai korban. Padahal bisa aja sekarang semua terbalik, 'kan? Dan lo sama sekali gak mau percaya."

Aska menghela napas. Laki-laki itu memandang bekas cakaran panjang yang ada di lengan Erin. "Siapa yang nyakar tangan lo?"

"Alara,"

"Tadi gue lihat kuku dia pendek. Justru kuku lo yang panjang."

Segera Erin mengepalkan tangannya untuk menyembunyikan kuku-kuku panjang dan yang ia miliki. Gadis itu mencoba untuk mencari alibi. "Hanya karena kuku gue panjang, bukan berarti gue pelakunya."

"Gue juga gak ngomong lo pelakunya. Santai."

Erin berdecak pelan.

"Sebenernya apa rencana lo?" tanya Aska penasaran, "bikin nama Alara jelek?"

"Bikin dia di-DO dari sekolah ini."

"Itu terlalu berlebihan," Aska terdengar seperti sedang protes, "rencana lo itu bisa bikin masa depan seseorang hancur, lo tahu?"

"Lo pikir gue peduli?" Erin terlihat acuh tak acuh sambil mengangkat bahunya. "Masa depan gue aja belum tentu cerah, kenapa gue harus repot-repot ngerepotin diri sendiri dengan cemasin masa depan orang lain?"

Aska menghela napas.

"Gue udah berkorban banyak hal untuk ini. Bahkan gue harus bikin drama dan nyakitin diri gue sendiri. Kalau sampai Alara masih belum menghilang juga dari jalan gue ... gue bener-bener habis akal harus lakuin apa lagi."

Sampai Jumpa Lagi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang