Al pov
Aku bingung untuk mendeskripsikan perasaanku saat ini. Aku Al Kohler pemilik perusahaan property DTV di Singapore. Semua ini milik orang tuaku yang tak pernah kutemui dari aku lahir sampai sekarang. Aku tidak tahu bagaimana wajahnya, dan yang paling menyedihkan nama saja aku tidak mengetahuinya. Orang tuaku masih hidup dan sesekali menghubungiku, itu pun dengan nomor yang berbeda dan harus mereka yang memulai. Apa ada lagi anak yang lebih menyedihkan dari pada aku?. Aku tinggal dengan tanteku Rosalia, dia sudah aku anggap sebagai ibu ku sendiri. Dia lah yang mengurusku dari aku lahir kedunia ini, dia juga yang mengikuti perkembangan dan pertumbuhanku. Aku sangat menyayanginya bahkan melebihi nyawaku. Mungkin benar orang tuaku yang menghidupi kami, tapi aku tidak butuh semua ini, yang aku butuhkan mereka yang menyayangiku bukan membuangku.
Apa yang aku lakukan sekarang?, aku hanya memandangi objek yang ada dihadapanku. Yuki, wanita itu tertidur lelap di sofa ruanganku. Memandangi wajahnya membuat ketenangan datang menghampiriku. Dia tertidur setelah menangis beberapa saat. Bukannya aku tidak tau dia menangis, jelas saja aku tau tetapi aku berpura-pura tetap fokus dengan file yang ada diatas meja. Aku tidak tau harus melakukan apa, ingin sekali aku memeluk dan menenangkannya tapi itu tidak mungkin aku lakukan. Aku mencoba melawan keinginanku dan tetap pada logikaku. Aku tidak ingin bertekuk lutut dihadapannya.TIDAK AKAN.
Apa kalian berfikir aku trauma dengan wanita?, maka jawabannya TIDAK. Bahkan aku sama sekali belum pernah mempunyai hubungan dengan wanita manapun. Ya aku hanya berinteraksi dengan mereka tanpa terikat hubungan atau yang biasa kalian sebut itu cinta. Bukan aku tidak laku, tapi aku belum tertarik dengan hubungan seperti itu, ya aku tidak mau terikat. Aku lelaki tegap, tinggiku 177, aku juga tampan, setidaknya aku bisa mengatakan ini karena ya mereka wanita-wanita yang tidak menutupi kekagumannya tentangku. Bahkan mereka dengan terang-terangan mengatakannya.
Yuki menggeliat, dan meluruskan kakinya. Tadi dia tidur seperti anak bayi yang meringkuk untuk mendapatkan kehangatan. Melihatnya sekarang membuat pikiranku melayang mengenang memori 14 tahun yang lalu.Flashback...
Aku berjalan tenang menyusuri komplek perumahan mewah ini. Aku baru pulang latihan basket. Hari ini aku minta untuk tidak dijemput karena memang aku latihan dilapangan komplek sebelah, dekat dengan rumahku. Aku masih mengenakan celana sekolahku yang berwarna biru dongker, saat ini aku masih kelas 3 SMP. Tiba-tiba bolaku terlepas dari tanganku, aku berlari mengejar bola itu. Dug..
Aku terjatuh, kakiku tersandung, belum sampai disitu tiba-tiba dari jauh sebuah mobil sedan melaju kencang. Aku panik, ingin berdiri tapi kakiku nyeri luar biasa. Aku tidak bisa melakukan apapun. Bergerak sedikit saja rasa nyeri sudah menyerangku. Aku pasrah sampai akhirnya...
Ya aku melihatnya terpental jauh. Anak kecil berparas cantik itu mencoba menyelamatkan aku. Tanpa takut dia mendekatiku, melambaikan tangan ke mobil sedan itu, seakan mengisyaratkan ada aku dijalan ini. Mobil itu tidak berhenti, dia terlambat menginjak rem nya, dan anak itu sudah terpental jauh menjadi sasaran empuknya. Dan sekarang ntah kekuatan dari mana aku mendekati anak kecil itu. Aku tidak lagi perduli dengan rasa sakit dikakiku. Kutatap wajahnya cukup lama, aku baru ingin berteriak mintak tolong dan tersadar seorang wanita berlari ke arah kami dan dia menangis sejadi-jadi nya. Aku sadar anak yang tergeletak lemah dihadapanku ini adalah anaknya. Dia menatapku dan mengelus kepalaku memastikan aku baik-baik saja dan tidak terluka apapun, setelah itu dia membawa anak itu mungkin kerumah sakit.
Flashback off.....
Tepat sehari setelah kejadian itu tante membawaku pindah ke Singapore. Dia tidak mau aku berurusan dengan polisi, untuk jadi saksi tabrak lari yang menimpa anak itu. Mobil sedan itu tetap melaju dan tidak berhenti. Aku yang tidak tau apa-apa mengikuti keinginan tanteku. Aku masih ingat selama perjalanan ke Singapore aku menghabiskan waktu hanya untuk melukis wajahnya. Karena aku putuskan untuk mencarinya.
Yuki terbangun, matanya membuka perlahan. Dia yang melihatku tengah duduk memandanginya langsung tersadar. Jujur saja aku tertawa dwngan tingkahnya. Dia bangkit dan duduk. Matanya bengkak dan merah. Oh shit sungguh dia berantakan.
"Dengar!!, aku tidak suka kau menangis lagi seperti ini. Apa lagi sekarang kau menjadi asistenku, jangan mempermalukan aku dengan tingkah cengengmu yang bisa membuat matamu bengkak seperti tomat.
Dia menatapku penuh kebencian, itu lah yang kutangkap dari sorot matanya. Oh aku tidak suka ini, disaat semua wanita berlomba-lomba untuk dapat dekat denganku, kenapa dia malah terang-terangan menunjukman kebenciannya padaku.
Jangan berpakaian seperti ini, ini kantor berkelas jadi berpakaiannlah se elegant mungkin, bisikku ditelinganya. Dia menjauh, baru saja aku menghirup aroma yang keluar dari tubuhnya. Tapi itu tidak berlangsung lama karena dia yang langsung berdiri menjauhiku.
"Baiklah pak Al sebagai atasan sudah seharusnya bapak bersikap selayaknya sebagai atasan yang baik", ucapnya datar.
"Apa pekerjaan saya, dan dimana meja saya?
"Kau sudah berada diruanganmu, itu mejamu, kau asisten ku, dan tunggu disini temani aku, sampai aku memintamu untuk mengerjakan sesuatu", jawabku tenang. Sekali lagi dia membuka mulutnya dan melebarkan mata indahnya itu. Jujur saja wanita didadapanku ini sangat biasa saja, rambut pirangnya, tubuh mungilnya, bibir tipis, warna kulit yang tidak begitu cerah, tapi ntah kenapa aku menginginkannya. Aku rasa aku mempunyai perasaan bersalah yang begitu besar terhadapnya.
"Tidak ada penolakan, jangan mengeluh, ingat aku sudah meminta izinmu dan kau sudah menyetujuinya.
"Itu kecelakaan... katanya meninggalkanku menuju mejanya. Akh kenapa dia tidak bisa tunduk padaku, liat saja apa yang bisa aku lakukan padamu. Senyumanku membentuk sempurna.
*****
Sekarang sudah menunjukkan pukul 5 sore. Dan kuputuskan untuk menyudahi pekerjaanku. Hari ini aku begitu lelah.
"Ayo pulang...kataku menarik tangan Yuki.
"Tidak usah pak, saya bisa pulang sendiri kok ", jawabnya memaksan senyum tipis yang terlihat dari bibir mungil itu.
"Aku tidak menawarimu nona, ini perintah", kataku tegas. Dia menyentak tanganku hingga terlepas dari pergelangan tangannya.
"Aku bisa jalan sendiri.
Ntah dari mana pikiranku kali ini. Aku menariknya dan mencium bibir itu. Bibir yang sedari tadi mengundang emosi yang ku tahan. Cukup sudah aku mencoba sabar, kali ini biar dia mendapat hukumanku. Ku rasakan tubuhnya menegang dan meronta minta dilepaskan. Aku semakin kesal dan menggigit bibir bawahnya. Refleks dia mencengkram lenganku. Oh shit kenapa aku jadi berdebar seperti ini, aku menjauhkannya. Aku tau dia akan marah, sebelum itu harus aku yang bersuara, sebelum dia membuatku tidak terkendali ketika mendengar ucapan-ucapan pedas yang akan dikeluarkannya.
"Dengar aku berkuasa atas dirimu, dan kau tau aku bisa melakukan apa saja untuk membuatmu menyesal atas sikap burukmu padaku. Bukan hanya kau tapi keluargamu", aku meninggalkannya yang masih terdiam. Aku tau dia sedang memikirkan kata-kataku.