Yuki Pov
Aku mencoba berdamai dengan jantungku yang mulai tidak karuan. Rasa takut, benci, resah bercampur jadi satu. Untuk melihatnya saja aku tidak mempunyai cukup keberanian sampai aku lebih memilih melihat kelantai untuk menghindari tatapan tajam yang dia berikan padaku. Sekarang aku merasa seperti anak yang dimarahi ayahnya karena melakukan kesalahan.
"Bolehkah aku membawanya pergi, karena aku tidak mau kesalahpahaman ini berlangsung lama?
Apa dia bilang "salah paham", apa aku tidak salah dengar, omong kosong apa lagi ini. Dan sopan sekali dia meminta izin untuk membawaku pada kak Tasya yang sekarang sudah duduk dihadapannya. Ya ampun baru kusadari rasa takutku begitu besar sehingga kak Tasya duduk saja aku tidak menyadarinya.
"Maaf saya buru-buru, mungkin nanti saya akan mengajaknya makan diluar, karena tidak sempat makan sekarang.
Aku ingin berteriak jangan pada kak Tasya. Tetapi bibirku tertutup rapat. Seakan-akan tidak bisa digunakan. Siapapun tolonglah aku now.
"Pergilah dan jaga dia untukku, bawa dia makan dan selsesaikan masalah kalian baik-baik. Satu lagi bawa dia pulang dengan utuh, aku tidak mau ada kekurangan apapun. Kau mengerti ?.
"Ya aku mengerti, terima kasih. Setelah mengucapkan itu dia menarik tanganku. Tapi tidak seperti kemarin, kali ini genggamannya terasa lebih lembut dan membuatku nyaman. Nyaman?, bagaimana mungkin aku merasa nyaman disamping lelaki paling mengerikan yang pernah aku temui. Dia membuka pintu mobil disamping pengemudi dan mendorongku masuk. Lalu menyusul masuk dan menghidupkan mesin lalu pergi. Tidak ada pembicaraan, dia fokus dengan kemudinya. Diam-diam aku mengamati wajah tampan disebelahku ini. Eits tampan, aku benar-benar mulai gila. Tapi aku tidak bohong kulit putih, hidung mancung, bola mata yang berwarna biru, akh aku baru sadar matanya begitu menawan, andai saja dia bersikap lembut padaku mungkin aku bisa menyukainya.
"Kau tidak perlu melihatku seperti itu nona.
Aku mengalihkan pandanganku keluar jendela. Aku sangat malu sekarang. Tertangkap basah melihat dan mengamatinya, sungguh seharusnya aku tidak melakukan itu, tidak untuk membuat lelaki ini begitu bahagia melihat pipiku yang merona malu.
Dia menghentikan mobilnya didepan sebuah rumah minimalis. Rumah siapa ini, mau apa dia membawaku kesini. seorang lelaki tua dengan berlari kecil mendekati kami. Lelaki itu membuka pintu mobilku, dan tersenyum kepadaku. Aku pun memberikan senyuman terbaikku padanya, hitung-hitung dia sudah baik membukakan pintu untukku, padahal aku bisa membukanya sendiri.
"Awww....", pekik ku pelan. Al sudah berdiri disampingku dan menarikku kasar, sampai-sampai aku kewalahan mengimbangi langkahnya. Aku tidak mengerti dia, tadi begitu lembut sekarang sangat kasar, tidak bisakah dia perlakukan aku lebih baik sedikit saja. Kami sampai disebuah lapangan besar yang dikelilingi pagar besi. Waw tempat ini sangat indah. Ternyata di kota singapore masih ada tempat yang luas dan asri seperti ini.
"Maaf tuan apakah dia orangnya?", kudengar lelaki tua itu bertanya takut-takut.
"Adakah orang lain yang kubawa selain dia?", dengan begitu angkuh Al menjawabnya. Dasar orang sombong, coba kalau dia diposisi bapak tua ini, apa masih bisa dia bersikap begini.
"Tapi dia perempuan tuan", kulihat keraguan dan ketakutan pada wajah yang sudah mulai berkerut itu. Oh tuhan apa lagi ini batinku menjerit.
"Aku tidak perduli", dengan Kasar Al mengambil kain merah yang tergantung disalah satu pagar besi dan mengikatnya pada leherku, seperti superman saja. Dia mau apa sih sebenarnya. Aku ingin bertanya, tapi belum sempat aku melakukannya, dia mendorongku kasar kedalam lapangan dan menutup pintu itu.
"Pastikan dia akan tetap baik-baik saja dan tetaplah mengamatinya. Jika kau rasa dia tidak mampu lagi maka sudahi, ingat ini pekerjaan mu sehari-hari, jadi jangan ada kesalahan yang kau buat, dan jangan sampai terluka sedikitpun, jika itu terjadi aku pastikan kau akan menyesal. Setelah mengatakan itu Al melangkah dan duduk pada salah satu kursi yang aku rasa memang sudah disusun untuk tempat ini.
"Hei apa yang akannn kau...", aku tidak mnyelesaikan ucapanku ketika melihat satu pintu terbuka dan muncul seekor banteng berlari kearahku. Dunia seketika runtuh, baru aku mengerti dia hanya ingin menikmati pertunjukan dan akulah objeknya. Aku ketakutan tidak tau harus melakukan apa. Yang terlintas hanya lari, ya sekarang aku berlari, kuyunkan kakiku sekuatnya. Aku benar-benar takut sekarang. Air mataku mengalir begitu saja dan semakin deras. Biarlah jika Al melihatnya, kurasa dia tertawa sekarang puas melihatku, toh memang ini yang dia inginkan. Aku butuh kak Alan, hanya dia yang tau rasa sakitku ini. Aku berlari semampuku, tapi aku sudah tidak sanggup. Aku lelah, perutku terasa sakit mataku buram mungkin karena air mata yang sudah banyak aku keluarkan. Kakiku keram...bugh.... aku terjatuh dan tidak merasakan apapun lagi.
*********
Al pov
Aku tecekat melihat pemandangan dihadapanku. Bukan rasa senang yang aku dapatkan, tetapi sakit. Aku berlari kearahnya yang jatuh terkulai diatas tanah.
"Yukii... yukiii bangunlah teriakku panik. Dia tidak bergeming. Langsung saja sepenggal memori terulang dibenakku. Seorang ibu yang histeris melihat anak yang ia lahirkan terkulai lemah tidak berdaya. Dan sekarang keadaan itu terulang, hanya saja aku yang histeris dengan keadaan anak yang sama. Aku menggendongnya, hanya satu tujuanku membawanya pulang dan mengobatinya. Aku menidurkannya dikursi belakang, aku harap itu akan membuatnya lebih baik. Aku menyalakan mobil dan
Menginjak gas sekuatnya, aku harus segera sampai.
"Cepatlah kerumah, ini darurat aku sangat membutuhkanmu". Aku memutuskan telepon itu dan mulai fokus kembali menyetir.
Sampai dirumah aku disambut tante Rosalia dan dr. Erwin yang memang sudah aku hubungi tadi. Mereka ikut panik melihatku menggendong seorang wanita dengan keadaan yang berantakan dan tidak sadarkan diri. Aku membawanya kekamarku, kamar yang selalu aku jaga dan tidak memperbolehkan siapun masuk kecuali tente Rosalia, dialah yang menyusun pakaianku karena pembantu pun tidak aku beri izin memasukinya. Aku sudah tidak perduli apapun lagi, aku hanya ingin wanita ini sadar.
"Dia tidak papa hanya saja dia kelelahan, dan terlihat syok. Nanti akan aku berikan obat, suruh dia meminumnya setelah makan. Hei kau apakan dia, mengapa dia berantakan seperti ini?", tanya dr. Erwin yang sudah 14 tahun ini bekerja menjadi dr. Pribadi keluargaku.
"Coba lihat, luka-luka ini sepertinya dia terjatuh, ambilkan air hangat agar aku bisa membersihkannya", kata dr. Erwin. Tidak menunggu lama tante Rosalia yang memang berada dikamarku bergegas melakukannya. Apa lagi kalau bukan mengambil air hangat.
Oh shit, aku benar-benar ceroboh. Aku mencoba meneliti seluruh luka yang terbentuk, didahi, pelipis, lengan, leher, paha, lutut dan kakinya. Leher dan paha?, SIAL. Tidak!!, aku tidak mau siapapun menyentuhnya pada bagian intim seperti itu. Walaupun dia dr. Erwin. Sekarang saja aku sudah begitu kesal melihat dr. Erwin menikmati pemandangan indah ini. Yukii harusnya kau tidak memakai pakian ini desahku frustasi.
"Tidak perlu, biar aku saja. Kau cukup memberitahuku apa yang harus aku lakukan. dr. Erwin tersenyum seolah-olah mengerti dengan maksudku. Biarlah dia tau, jadi dia tidak akan mencari kesempatan dalam kesempitan seperti sekarang ini. Walaupun mungkin dia sudah sering melakukan ini pada banyak pasien. Tapi tidak dengan Yuki. TITIK.
"Oke cukup kau bersihkan semua luka ini dengat air hangat, setelah itu kau olesi dengan betadine. Aku rasa kau sudah paham, jadi sekarang aku harus pulang karena jam praktekku sudah habis.
"Ya ya ya pulang lah!", kataku cepat lalu mengambil baskom air hangat dari tangan tante Rosalia.
"Aku akan mengantarnya kedepan, lakukan tugasmu dengan baik dan jangan macam-macam", bisik tante Rosalia ditelingaku.