"Kau sedang memikirkannya?", tante Rosalia masuk dan memberikanku segelas coklat, hal yang selalu dilakukannya, ketika aku harus menahan kantuk demi menyelesaikan pekerjaan kantor maupun hal lain. Seperti saat ini sudah jam 2 pagi, aku belum juga bisa memejamkan mataku, alhasil aku lebih memilih duduk diam diruangan favoritku.
"Tidak, aku hanya memikirkan pekerjaan kantor. Kenapa tante belum tidur?", kataku bohong.
"Aku tidak bisa tidur memikirkan gadismu, jangan coba melukainya lagi jika kau tidak ingin kehilangannya. Lagi pula tante sudah jatuh cinta padanya. Tante Rosali pergi meninggalkanku dengan senyuman menggodaku. Aku menyesal telah menceritakan apa yang terjadi pada tante Rosalia, aku yakin pasti dia tidak akan berhenti untuk menggodaku. Segera saja aku menghabiskan segelas coklat panas yang dibawa tante Rosalia tadi. Kantuk menderaku tapi aku belum bisa tidur kalau belum melihatnya, setidaknya memastikan dia sudah tertidur lelap. Tadi tante sudah bilang kalau dia sudah sadar dan menyulanginya makan. Aku ingin segera menghampirinya, tapi aku urungkan, biarlah aku melihatnya ketika dia tertidur lelap. Jadi tidak akan ada tatapan benci yang aku dapatkan.Baru saja kubuka pintu, seseorang menabrakku. Gadis itu terhuyung kebelakang, cepat aku menariknya. Gerakanku yang refleks itu mendekatkan dirinya padaku bahkan menempel. Tubuhnya menegang, aku bisa merasakan itu. Dia mendorongku, tidak terlalu kuat tapi cukup untuk membuatku mundur kebelakang. Aku menelan ludah melihat penampilannya. Bajuku longgar ditubuhnya, tapi itu bukan masalah. Kemeja itu tipis, aku bisa melihat jelas lekuk tubuhnya. Bra dan cd berwarna hitam. Apakah dia suka mengenakan pakaian dalam senada seperti itu. Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku, aku ingin merengkuhnya, bahkan lebih dari itu. Aku menatap matanya setelah memandangi seluruh hal indah dihadapanku. Dia menatapku tajam, hatiku mencelos. Aku tidak tahan dengan keadaan ini, aku tidak perduli. Aku melangkahkan kakiku mendekat. Tapii brakkk.... dia menutup pintunya sangat kuat. Aku rasa dia sadar dengan tatapan nafsu yang kuberikan.
Aku tidak mungkin memaksanya. Aku merutuki diriku sendiri, aku sudah membuatnya benci padaku setelah apa yang aku lakukan kemarin dan sekarang aku hampir saja membuatnya jauh lebih membenciku. Arghhhh.... aku bersyukur dia menutup pintu itu. Jika tidak...bisa-bisa aku sudah merusaknya malam ini. Aku berbaring diatas sofa diruangan favoritku. Aku sulit memejamkan mataku terlebih lagi bagian bawah yang sudah mengeras. Aku mengerang frustasi 29 tahun aku hidup, tapi baru kali ini aku merasa berdebar dekat dengan seorang wanita, bahkan aku ingin mencumbunya pikiran yang sama sekali tidak pernah terlintas dibenakku walaupun melihat wanita-wanita lain yang lebih seksi darinya. Tapi jika didekatnya seperti tadi hal itu terlintas begitu saja untuk menuntut segera merengkuh, mencium dan melakukan sex dengannya. Bahkan membayangkan dirinya tadi membuat bagian bawahku menegang seperti ini. Aku tidak menyangka rasa bersalah ini begitu besar, sehingga membuat akal sehatku hilang ntah kemana.
**********
Aku bangun jam 9 pagi. Aku haus lagipula perutku juga minta diisi. Aku teringat kejadian tadi malam, aku terbangun karena haus. Aku memilih untuk kedapur. Pilihanku salah, baru saja mau membuka pintu eh pintu terbuka, aku menabraknya membuatku terhuyung kebelakang. Dia menarik tubuhku membuat tubuh kami menempel bahkan aku bisa mencium aroma mask yang keluar dari tubuhnya. Aku menegang langsung mendorongnya menggunakan tenaga yang tersisa, maklum saja aku masih lelah akibat tingkah lelaki gila yang membuatku harus lari secepat kilat untuk menyelamatkan nyawaku. Dia menatapku dari atas sampai bawah, uh matanya tidak berkedip, aku benci melihatnya. Aku tau dia mulai berpikir mesum. Sudah cukup kebodohanku yang ceroboh menandatangani kontrak sialan itu. Benar saja dia mendekat, tanpa ragu aku langsung menutup pintu dan tidak lupa menguncinya. Uhhhh hampir saja aku jadi bahan mainanya malam ini pikirku.Sekarang aku begitu haus, mengingat rasa haus yang tidak tersalurkan tadi malam. Leherku kering aku butuh minum. Aku membuka kunci dan membuka pintu, kuintip keluar tidak ada siap-siapa, sepertinya aku aman. Aku menuruni tangga pelan-pelan. Aku mencari-cari, rumah ini begitu besar aku kesulitan mencari dapur. Ruangan itu akhirnya aku temukan uhh jauh sekali kenapa dapur saja harus melewati kolam renang. Apa-apaan sih kok dapur aja jauh banget. Harus terpisah sama ruangan lainnya. Sampai didapur aku ambil gelas, iseng aku membuka kulkas, instingku tidak salah ada air dingin disini. Aku meletakkan lagi gelas yang tadi aku ambil. Langsung saja aku minum dari botol ini. Gak papa lah ya, aku tidak mau mengotori gelas orang hehehe. Air dingin sukses membasahi kerongkonganku rasanya segar sekali. Tapi tidak dengan pinggangku, kenapa terasa hangat. Apa setelah sampai diperut air bisa berubah panas, jadi bisa membuat pinggangku berubah hangat begini. Aku menepis pikiran ngaco yang ada dikepalaku.
"Kenapa jorok sekali, bisa kan minum memakai gelas.
Tubuhku menegang. Astaga suara ini, suara orang yang beberapa hari ini menjadi bumerang buatku. Aku menghentikan aksi minumku, masih ada air yang mengumpul dimulutku. Rasanya sulit untuk menelannya, aku menundukkan kepalaku. Refleks aku menyemburkan air yang baru mau aku telan. Dia memelukku, tangannya melingkari pinggangku. Astaga pantas saja terasa hangat. Ternyata ada tangannya dipinggangku. Aku bergerak ingin menjauh tapi dia mengetatkan pelukannya.
"Eh maaf", suara seseorang yang ternyata Tirta mengagetkanku terlebih dia. Aku baru mau angkat bicara membalas kata maafnya. Tapi Tirta sudah pergi. Kuberanikan diri memutar tubuhku hingga bisa melihatnya. Hal yang baru berani aku lakukan. Matanya menatapku tajam ada kemarahan disana. Astaga apalagi salahku sekarang. Aku tidak berbuat apapun. Aku tidak mengerti dengannya, kami bertemu belum lama, tapi dia seperti mendominasi sebagian bahkan hampir seluruh hidupku. Aku takut padanya.
"Harusnya kau tidak perlu keluar dari kamarmu, ini rumahku, berlakulah sebagai tamu yang punya sopan santun.
Ntah kenapa hatiku terasa sakit mendengarnya. Aku disini juga karena dia, dia yang membawaku, aku hanya ingin minum, apa itu tidak sopan.
"Maaf sudah tidak sopan dirumah tuan, saya sangat haus hanya ingin minum. Selesai mengucapkan itu aku berlari meninggalkannya. Aku tau air mata telah berada dipelupuk mataku. Aku ingin menangis tapi tidak dihadapannya. Untuk apa dia memelukku jika akhirnya akan menyakitiku seperti ini. Apa dia memang orang yang gak punya hati. Dia sudah melukaiku, hampir membunuhku, taukah dia banyak kejadian dimana orang-orang kehilangan nyawa karena diseruduk banteng. Apa dia tidak merasa bersalah padaku, bahkan meminta maaf pun tidak, dia malah trus menyakitiku.
*********
Aku meninju dinding dihadapanku. Kenapa selalu menyakitinya. Apa aku ditakdirkan untuk selalu menjadi sumber masalahnya. Aku hanya ingin menjaganya, aku berhutang nyawa padanya. Aku mendengar pintu kamar dibuka, aku tidak bisa tidur semalaman kepalaku dipenuhi tentangnya. Aku melihatnya masuk kedapur. Melihat kaki jenjangnya, lekuk tubuhnya bagaikan siluet keindahan dipagi ini. Segera saja aku mengikutinya. Dia mengambil gelas kemudian meletakkannya lagi. Aku baru mengerti tujuannya, hal yang tidak pernah terpikirkan. Seorang wanita minum langsung dari botol yang ada dikulkas. Aku suka melihat tingkahnya, dia bukan wanita yang mengikuti gaya dunia. Dari awal pertemuan kami, dia yang sederhana dan tidak perduli penampilan. Aku memeluknya dari belakang. Tubuhnya tidak menegang, aku rasa dia belum menyadari keberadaanku. Benar saja setelah aku angkat bicara aku merasakan tubuhnya yang baru memberikan reaksi, dia mengehentikan aksi minumnya. Dia melihat kebawah. Aku cukup terkejut ketika dia menyemburkan air dari mulutnya. Ternyata dia pun tidak menyadari aku yang memeluknya tanpa ingin melepasnya. Aku menikmati suasana itu sampai keberadaan Tirta mengagetkan kami. Aku meliriknya yang menatap kearah Yuki. Jelas saja seperti itu, lelaki mana yang akan menolak keindahan wanita yang terpampang jelas dihadapannya. Aku melemparkan tatapan tajam kearahnya, dia pergi setelah itu. Aku marah, sangat marah, aku tidak ikhlas dengan apa yang Tirta liat. Tanpa bisa kucegah kata-kata itu keluar dari mulutku begitu saja. Aku melukainya, matanya berkaca-kaca. Dia langsung berlari meninggalkanku. Aku tau dia tidak ingin memperlihatkan kalau dia menangis. Maafkan aku...