Sekarang kami sudah sampai dirumah, setelah seharian mencari hadiah untuk kak Tasya. Langit sudah mulai gelap karena sekarang sudah pukul 17.56. Kami masuk kerumah diam-diam. Ini kejutan jadi kak Tasya tidak boleh lihat kehadiran kami. Aku mencari kak Tasya didapur tidak ada, kak Alan mencari di taman juga tidak ada, kami melihat ke atas, kami tersenyum bersamaan, pasti kak Tasya dikamar keponakanku yang nakal nakal itu. Kami berjalan pelan-pelan menaiki tangga, berusaha untuk tidak menimbulkan suara sedikitpun.
"Aku hamil jef, aku harus bagaimana?. Itu suara kak Tasya, dia berbicara dengan siapa.
"Aku akan bertanggung jawab sayang, tenanglah. Suara lelaki, aku dan kak Alan refleks menghentikan langkah. Aku menoleh melihat kak Alan, wajah nya pucat pasi, ada kecemasan disana.
"Kau mempermudah semua ini Jef", kata kak Tasya mulai marah. Setidaknya itu lah pendengaranku.
"Aku tau semua ini akan terjadi sayang, bukan kah kita melakukannya tanpa pengaman, itu hasil buah cinta kita. Jadi aku akan mempertanggung jawabkannya, aku tidak akan lari, kau tidak usah takut.
"Aku tidak takut Jef, tapi aku tidak mungkin merusak keluarga kecilku.
"Tidak ada lagi keluarga kecil Tasya, kau bisa bersamanya sekarang", kata kak Alan yang sudah mendahuluiku membuka pintu kamar Rio dan Rosi dengan kasar. Aku masih diam tidak menyangka dengan yang terjadi. Ku lihat rahang kak Alan mengeras menahan amarah. Hal yang belum pernah aku lihat selama ini. Kali ini amarah kak Alan terlihat jelas, dia melempar kotak yang sudah terbungkus rapi ditangannya, kalung yang kami beli tadi. Kak Tasya terkejut dengan kehadiran kami dan lelaki yang bersamanya duduk dengan santai memangku kak Tasya. Aku menatap mereka jijik, bagaimana bisa wanita lembut, penuh kasih sayang itu selingkuh dengan laki-laki lain, bahkan ada benih laki-laki itu yang sedang mengembang di rahim kak Tasya. Kak Tasya berlari memegang tangan kak Alan.
"Mas dengarkan aku dulu", kata nya menangis. Kak Alan melepaskan kasar tangan kak Tasya. Melihat itu kak Tasya menatapku memohon bantuan, itu tidak mungkin aku lakukan. Aku menangis sekarang, tidak bisa kutahan.
"Kenapa kakak tega melakukan ini, apa salah kak Alan, kurangkah cinta kak Alan selama ini", isakku. Kurasakan tangan kak Alan memelukku. Saat ini dia lah yang paling rapuh, tapi dia tetap melindungiku, seakan mengatakan kalau dia baik-baik saja.
"Aku akan segera urus perceraian kita. Rumah dan mobil menjadi milikmu karena semua itu aku buat atas namamu, anak-anak aku bawa karena mereka tidak pantas tinggal bersama mu dan kekasihmu itu.
Aku menangis lebih keras dipelukan kak Alan. Haruskah sekarang ini semua berakhir.
"Apa tidak bisa kita memperbaikinya mas, maafkan aku", kata kak Tasya bersimpuh memegang kaki kak Alan.
"Dalam rumah tangga selalu ada hambatan Tasya, semua bisa diselesaikan bersama, Tapi tidak dengan perselingkuhan, kau bersamaku tapi membagi hati bahkan tubuhmu. Kau sudah merobohkan benteng itu Tasya", kata kak Alan tegas.
"Yuki siapkan barangmu, kita angkat kaki dari sini. Kak Alan pergi meninggalkanku.
"Maafkan kakak Yuki, kakak menyesal", kak Tasya meemegang tanganku.
"Penyesalan selalu datang terlambat Tasya", aku melepaskan tangannya pelan. Aku tidak lagi memanggilnya kakak, semua sudah jelas dia merusak keluarga ini, menghancurkan cinta kak Alan yang begitu besar. Aku meninggalkannya yang masih menangis sesenggukan.
Tidak butuh waktu lama mengemasi barang-barangku, tidak banyak juga, hanya ada satu koper besar. Dibawah aku mendapati kak Alan yang hanya membawa satu koper juha, disamping nya ada Rio dan Rosi. Lagi-lagi aku meneteskan air mata, tidak kusangka keluarga ini hancur berantakan, Rio dan Rossi menjadi korban.
"Sayang ikut tante sama daddy ya", kataku memeluk kedua keponakanku itu.
"Iya tantee, mommy tidak ikut, kita tinggalin mommy dengan om itu", kata Rio pelan. Astaga bahkan kak Tasya sering membawa laki-laki itu kerumah. Apa dia tidak memikirkan perasaan Rio dan Rossi. Aku memegang tangan Rio, disaat kami pergi pun kak Tasya tidak ada. Ntah dia ribut atau malah melanjutkan kemesraannya kami tidak tau bahkan tidak mau tau. Aku melirik kak Alan di masih diam berusaha tegar didepan kami.
"Yuki kalian mau kemana?
Aku terkejut melihat Risa yang sudah berdiri di depan rumahku.
"Kami... kami... akan pindah", jawabku menahan tangisku. Risa memelukku erat, mungkin dia tau apa yang aku rasakan sekarang walaupun tidak ku ceritakan. Wajah dan bahasa tubuhku sudah menjelaskan semuanya.
"Kau mau pindah kemana?", tanya Risa. Aku menggelengkan kepalaku lemah. Saat ini aku tidak tau harus kemana, lagi pula yang aku tau kak Alan tidak punya rumah lagi selain rumah ini. Bahkan rumah pun diatas namakan kak Tasya, kurang terbuktikah kalau kak Alan begitu mencintainya.
"Baiklah kalian bisa tinggal di rumahku, lagi pula aku hanya tinggal sendiri, ada dua kamar kosong yang bisa kalian tempati.
Aku melihat kak Alan, menunggu persetujuannya.
"Baiklah", kataku lemah. Kak Alan tidak merespon, ia diam dengan tatapan kosong. Disaat seperti ini kak Alan tidak mungkin bisa berfikir lagi. Jadi ku putuskan untuk menerima tawaran Risa.
**********
Kami sampai dirumah Risa. Rumah ini cukup besar untuk wanita yang tinggal sendiri.
"Yuki antar saja kakakmu ke kamar disudut itu, sepertinya dia butuh istirahat, biar anak-anak ini aku yang urus", kata Risa berbisik di telingaku.
Aku memegang tangan kak Alan, menariknya lembut ke kamar. Aku menuntunnya duduk di sudut kasur membantunya melepaskan jas yang sedari tadi ia pakai. Kak Alan masih diam. Aku sudah tidak tahan, aku bersimpuh dibawa kakinya dan mulai menangis.
"Kak jangan diam seperti ini, aku mohon, bicaralah!!!
Kak Alan tetap diam, memandangku dengan tatapan kosong. Aku mulai tidak sabar, sambil menangis aku mengguncang-guncang kedua bahunya. Tetap sama tidak bergeming. Aku menyerah menumpukan kepalaku diatas tangan kak Alan.
"Kak ku mohon bicaralah, dari tadi kakak hanya diam, aku mohon berbagi lah pada Yuki", aku masih menangis.
"Jangan simpan semua sendiri kak, lepaskan ke Yuki, jangan kakak tahan seperti ini", aku semakin sesenggukan. Tangan kak Alan mengelusku pelan.
"Kakak kurang apa Yuki?", tanyanya datar.
Setengah berdiri aku memeluk kak Alan.
"Kakak hanya kurang beruntung, tetaplah jadi lelaki kuat, jangan diam seperti tadi itu membuatku takut", tangisku semakin kuat bahkan nafasku mulai cepat.
"Kak aku menyayangimu, sangat menyayangimu, tidak terbatas. Jadi jangan sedih, aku Rio dan Rosi sangat mencintaimu, kami membutuhkan perlindunganmu, kau masih punya kami", aku mengusap air mata yang menetes di pipi kak Alan. Dia hancur, bahkan terlalu hancur. Kakakku meneteskan air mata, itu sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan betapa terlukanya dia.
"Ya sudah pergi lah tidur, jangan menangis lagi, nanti matamu besar seperti biji kopi.
Aku terkekeh pelan, uh disaat seperti ini kak Alan masih berusaha membuatku tertawa. Enak saja dia bilang mataku seperti biji kopi.
"Aku akan tidur kalau kakak juga tidur, bagaimana?
"Aku tidak bisa tidur.
"Baiklah sini", aku berdiri membaringkan kak Alan diatas tempat tidur. Duduk diujung dan mengelus pelan kepalanya.
"Sekarang kakak tidur aku akan menunggu kakak disini", kataku masih mengelus kepalanya.
"Hei kau pikir kakak anak umur 5 tahun", kata kak Alan protes.
"Sudah diamlah, cepat kakak tidur, nanti aku gak tidur-tidur loh.
Kak Alan memejamkan matanya. Aku melihat air mata yang mengalir disudut matanya. Aku pun tetap menangis, dan kami menangis dalam diam. Ini hari terburuk yang meninggalkan luka dikeluarga kecil yang selalu aku banggakan, semua ini karena kak Tasya. Aku memandangi wajah kak Alan. Wajah itu begitu rapuh, tidak memiliki tempat untuk bersandar. Diumurnya yang ke 30 sama sekali tidak ada yang menyangka rumah tangganya harus berakhir menyakitkan seperti ini. Aku mngecup puncak kepala kak Alan, memasangkan selimut hingga menutupi dada bidangnya mematikan lampu dan keluar dari kamar itu.
Aku mendapati Risa duduk diruang tamu dan mendekatinya.
"Hai boleh aku duduk disini ?", tanyaku ragu. Risa menarikku hingga aku terduduk disampingnya. Dia memelukku erat.
"Maafkan aku ki, kau sahabatku dan akan selalu begitu, aku tidak membencimu, maafkan aku yang egois menimpakan luka masa lalu kepadamu, aku terlalu takut, terlalu takut semua itu terulang untuk kedua kalinya", Risa menangis.
"Aku tidak papa, aku juga tidak marah, o iya dimana Rio dan Rossi ?
"Mereka sudah tidur.
Hari ini begitu penuh dengan tangisan.......ya tangisan menyedihkan ...