35| Lil Baby

259 24 122
                                    

⸙͎⸙͎⸙͎

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

⸙͎⸙͎⸙͎

Weekend kali ini, cuaca cukup dingin, tampak rintikan hujan turun bersamaan di luar sana. Dari tadi, pagi-pagi sekali, ART juga sang Ibunda sibuk bergulat dengan alat dapur. Hari ini adalah hari di mana keluarga besar Lesmana berkumpul. Acara ini diadakan setiap dua sampai tiga bulan sekali, secara bergantian. Pagi ini, acara diadakan di rumahnya Anggara. Acara yang selalu ia hindari, sebenarnya. Namun, apa boleh buat, jangan lupa, Angga ialah seorang putra dari pemimpin perusahaan elektronik yang selalu wajib patuh. Tekanan pun sudah menjadi sahabatnya dari kecil.

"Sudah siap semua, Bun?" tanya sang suami yang tampak rapih dengan setelannya.

"Hmm, kayaknya udah kok, Yah."

Harian mengedarkan pandangannya ke seluruh sisi dari ruang makan yang kali ini ditata dengan begitu apik nan indah. Ketika berada di sana, seakan kita sedang memasuki sebuah istana mewah, ruangan diisi hidangan berkelas, lilin cantik berdiri kokoh di tengah-tengah meja, serta deretan bunga lengkap dengan vasnya yang berkilauan.

Netra Harian tertuju pada vas yang terlihat tidak sejajar, ia langsung bergegas merapihkannya. "Zidan," panggil Harian pada putra sulungnya yang baru saja turun dari kamar.

Zidan menengok lalu menyahut, "Kenapa, Yah?"

"Bagaimana kerjaan kamu? Ada yang perlu Ayah bantu? Jangan sungkan bilang ke saya, saya ini Ayahmu."

"Hmm, ya seperti biasa, dan sepertinya nggak ada yang perlu dibantu." Zidan duduk mencicipi kue kering buatan sang bunda di atas kitchen bar. "Tapi sepertinya ..., putra bungsu Ayah yang butuh bantuan?" tanyanya membuat Harian tertegun sejenak. Annisa, Bi Minah, juga ART lain yang mendengar itu juga memfokuskan perhatian mereka pada Zidan. Entah apa maksud perkataan itu.

"Maksud kamu?" tanya Harian.

"Seperti tak punya masa depan," celetuk Zidan menyunggingkan senyum, menyepelekan sang adik.

Mendengar jawaban putranya, membuat hati Nisa terpukul. Bagaimana bisa Zidan selalu mengatakan hal buruk pada saudaranya sendiri. "Zidan, apa maksud kamu? Bunda nggak pernah ngajarin kamu ngomong seperti itu! Seharusnya kamu mendukung adik kamu, bukan malah sebaliknya!" Lelaki berusia dua puluh tiga tahun berbadan tegap itu hanya mengangguk singkat, terlihat terpaksa.

"Padahal Zidan lagi ngomongin fakta, Bun?"

"Zidan, sudahh! Bunda nggak suka ya kamu menyepelekan adik kamu seperti itu! Berapa kali Bunda harus marah gara-gara masalah ini?!" potong Nisa, membuat Zidan memutus kontak mata dan merapatkan bibirnya.

"Sudahlah, Bun. Itu juga terjadi karena kamu selalu memanjakan putramu. Lihat sekarang? Apa yang bisa dibanggakan dari anak pembangkang itu?" sanggah Harian. Perdebatan rumah tangga lagi-lagi menggema. Suasana juga ikut menegang.

***

Tidak lama kemudian, hujan mereda, aroma sehabis hujan dapat tercium, rasanya begitu segar ketika terhirup. Angga sangat suka suasana ini, ia memejamkan kedua matanya—tampak senyumnya merekah, untuk sejenak ia melupakan masalah yang berkutat di pikirannya. Kucing cantik berbulu lebat nyaman dipangkuan, menghangatkan pemiliknya.

ANGGARA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang