45| Another Option

196 9 87
                                    

H a p p y-reading, oll<3

⸙͎⸙͎⸙͎

Saat Anggara mengayun langkah kecil melewati bingkai pintu, Fatimah meminta izin sebentar kepada Jihan untuk mengantar Angga hingga depan. Jihan memberi izin. Gadis yang tengah kurang sehat tersebut diperintahkan untuk tetap beristirahat di ruang pribadinya. Meskipun ia masih sangat ingin menghabiskan waktu dengan lelaki yang dicarinya selama ini.

"Anggara." Fatimah memanggil Angga tepat sebelum si pemilik nama memasang sandalnya. Angga menoleh dengan raut wajah bertanya. "Ada apa, Nek?" Pemuda itu kembali mendekati Fatimah.

Terdengar helaan napas berat dari nenek tersebut. Dengan pelan ia menutup pintu utama agar pembicaraan mereka nantinya tidak terdengar sampai ke telinga sang cucu. Pembicaraan kali ini sesuatu yang serius, terlihat jelas dari raut wajah Fatimah yang menegang.

Lebih dulu Fatimah menduduki kursi berbahan dasar kain yang telah dijahitnya berkali-kali. "Silakan duduk."

Meski disertai rasa was-was yang tidak dapat terelakkan, Angga nurut. Hoodie yang sebelumnya ia sampirkan di pundak, kini ia letakkan di atas punggung kursi, lalu duduk tepat di hadapan Fatimah.

"Firasat gue nggak enak, aslii," monolog Angga, tangannya tergenggam erat di bawah sana.

"Kenapa, Nek? Ada yang mau Nenek bicarain?" Angga bertanya ragu pada Fatimah yang sedari tadi tampak menatap lurus ke bawah, seolah sesuatu tengah mengganggu pikirannya.

Fatimah akhirnya menoleh. Ia menatap dalam pada manik pemuda itu. "Nak," panggilnya dengan suara rendah dan berhasil membuat irama jantung Angga semakin tidak kondusif. "Kamu juga sadar, 'kan? Kalau kamu tetap memaksa untuk terus bersama Cucu saya, dia hanya akan terluka." Ungkapan tersebut diikuti dengan air bening yang perlahan mengalir dari sudut matanya.

"Jadi, tolong ..., saya minta tolong akhiri hubungan kalian," tambah Fatimah.

Angga menelan salivanya, berkali-kali ia mengedipkan mata, bahkan terdengar deru napas yang begitu berat seakan ia berusaha keras untuk itu. Untuk yang entah ke berapa kalinya Angga dihadapkan dengan pilihan sulit, yang mana kalau dipikir lagi ucapan Fatimah tidaklah salah. Berkali-kali kekasihnya itu menangis akibat perbuatannya sendiri, bahkan kakak Angga satu-satunya juga pernah menyakiti hati Jihan. Belum lagi, kalau ayahnya nanti tersadar dari koma. Entah kata apa lagi yang akan didapatkan Jihan nantinya. "Nek ...?" panggil Angga terdengar serak. Ia berharap hal yang disampaikan Fatimah itu hanyalah salah dengar.

Namun tidak, Fatimah tetap melanjutkan ucapannya meski berpotensi untuk menyakiti pemuda di hadapannya. "Demi Jihan. Saya tidak bisa melihat Cucu saya terus menangis seperti itu, sudah cukup luka yang dia derita. Saya cuma mau, Jihan bahagia. Tolong pertimbangankan ucapan saya barusan, ya, Nak Angga?"

Sedari tadi Angga bergeming menatap lurus ke depan, lidahnya terasa kelu, irama napas tidak karuan lagi. Sesaat kemudian Angga kembali dari lamunannya. Angga beralih menatap Fatimah. "Saya akan pikirkan dulu, ya, Nek? Saya tidak bisa meninggalkan Jihan semudah itu," ucapnya diakhiri senyum getir.

"Jika kamu benar-benar menyayangi Cucu saya, kamu akan memilih untuk meninggalkannya."

***

Di saat bersamaan kepulangan Anggara, terdengar notifikasi dari ponsel Jihan yang tidak digubrisnya sedari tadi. Masih dalam posisi berbaring, sang empu meraih ponsel dan langsung memeriksa pesan tersebut. Terukir senyuman di bibirnya, "Aliya."

Aliyaaa

|Han, lo di mana??
|Belum pulang?
|Nek fatimah khawatir
|Katanya cuma ke warung
|Tapi sampe maghrib ga pulang2

ANGGARA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang