48| Life's Changing

215 8 54
                                    

H a p p y-reading, oll<3

⸙͎⸙͎⸙͎

"Ekhem, Jihan?"

Suara berat tersebut menyadarkan seorang wanita yang duduk melamun sendirian di kursi panjang-menunggu bus yang akan mengantarnya pulang. Jihan terkesiap sembari menyadarkan dirinya, lalu fokus mengenali fitur wajah tegas yang sedikit membungkuk di hadapannya.

"Ra-Raafi, yaa?" Alisnya bertaut saat bertanya. Pria dewasa yang kini berkuliah di universitas ternama di ibu kota tersebut tersenyum dan mengangguk, lalu duduk tepat di sisi kanan Jihan.

"Apa kabar?" Raafi bertanya saraya menaruh gitarnya di samping. Tentu kebetulan ini membuatnya bertanya-tanya pada Tuhan. Mengapa harus bertemu lagi, di saat ia mulai rela melepas wanita itu dengan sahabatnya? Namun, tidak bisa dipungkiri, ada rasa bahagia yang besar di dalam sana.

Jihan juga membalas dengan senyum. "Alhamdulillah, baik. Lo sendiri, gimana kabarnya? Mau ke mana?"

"Hmm, baik. Gue baru balik ngampus. Gak tau kenapa, akhir-akhir ini gue lebih prefer pake angkutan umum," sahutnya.

"Udah bosen pakai motor, ya?" tanya Jihan membuat keduanya terkekeh bersamaan. Suasana semakin cair, hingga Raafi melempar sebuah pertanyaan yang membuat Jihan gelagapan.

"Lo, kayaknya lagi gak lagi baik-baik aja, Han?" Raafi bertanya ragu. Ternyata Anggara masih menjadi pemenangnya, pikir Raafi. Dari menatap mata wanita itu saja, Raafi dapat menyadari bahwa Jihan masih menunggu.

Jihan bergeming seraya tersenyum getir. Ingin sekali menanyakan kabar tentang Angga pada pria berkulit kuning langsat yang tengah menatapnya sendu. Namun, Jihan memilih bungkam. Untuk sesaat ia berpikir, kini waktunya untuk fokus pada karirnya. Saat ini Jihan tengah bekerja sebagai guru matematika di tempat les yang masih dalam tahap pengembangan.

Karena wanita dengan suasana hati yang redup itu tak memberinya jawaban, Raafi memutuskan untuk mengajaknya pergi. "Han, temenin gue makan, yuk? Gue laper," ajak Raafi tanpa berpikir panjang. Alasan klasik sebenarnya, ia hanya ingin membuat cinta pertamanya itu tersenyum kembali, dengan segala cara. Meski telah berpisah lebih dari dua tahun, Raafi masih juga menyimpan rasa pada wanita yang semakin tampak ayu itu. Namun, kesempatan tidak pernah memihaknya.

Jihan mengiyakan ajakan Raafi. Bagaimanapun, lelaki ini pernah menjadi obat dan penolong di saat-saat terpuruknya. Jihan pun berniat membalas budi meski sederhana, dengan mentraktir makan misalnya.

Sebagai penunjuk jalan, Raafi berjalan sedikit lebih dulu. Sesekali melirik wanita yang terlihat lumayan beda penampilannya. Memang sih Jihan dari dulu sudah menjadi perempuan cantik nan dewasa, tetapi kini wanita itu terlihat lebih elegan, dewasa dan semakin bersinar di saat yang bersamaan. Semua kata baik ada padanya, membuat Raafi kesulitan untuk berkata-kata. Rasa ingin menjadikannya seorang istri terlintas begitu saja, pada pikiran pria yang saat ini mensejajarkan langkah Jihan yang masih saja kecil.

Saat mereka menghabiskan waktu di restoran. Mereka bertukar banyak cerita. Yang jadi topik utamanya kali ini adalah Gilang dan Aliya. Kabarnya minggu lalu mereka menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Mereka bertiga, Raafi, Gilang, serta Aliya berada di universitas yang sama. Kalau Ara, ia memutuskan untuk berkuliah di kampung halamannya. Sementara Jihan memilih tidak menyambung pendidikannya, sebab ia ingin fokus mencari nafkah untuknya dan juga Fatimah. Kadang rasa iri menghampiri, tetapi apa boleh buat. Jihan masih berusaha berdamai dengan keadaan.

Setelah menyelesaikan makan, Raafi meraih gitarnya yang ia senderkan di bawah meja.

"Can I sing for you ...?" Tanpa memberi aba-aba sebelumnya, Raafi bertanya dengan suara beratnya. Membuat lengkungan manis terbit di bibir Jihan yang kini berhias liptint berwarna nude pink.

ANGGARA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang