43| My Weakness

221 13 67
                                    

H a p p y—reading, oll<3

⸙͎⸙͎⸙͎

Suasana hening menyelimuti ruangan itu, ditemani suara monitor yang terus berbunyi secara teratur. Tercetak jelas gelombang irama pernapasan milik Harian di sana. Wajah tegasnya seakan sirna digantikan wajah tanpa ekspresi dengan dipasangi alat bantu untuk bernapas. Ia tidak dapat melakukan pergerakan, mengeluarkan suara, apalagi membuka mata. Sosok yang selalu tampak berwibawa tersebut terbaring lemas di atas brankar yang ukurannya cukup besar.

Giliran Anggara yang menjaga sang ayah. Sepulang sekolah tadi, setelah mengantar Jihan pulang, ia langsung bergegas menuju rumah sakit. Ia bahkan tidak ikut menghadiri acara makan-makan yang dilaksanakan oleh anggota se-gengnya. Zidan kembali menjalankan kewajibannya sebagai dokter, sementara bundanya sedang pergi untuk membeli makanan.

Tampak Angga mengamati ayahnya dengan tatapan sendu. Ia menggenggam tangan yang entah kapan terakhir kali ia genggam. Seorang putra tengah hanyut dalam emosi sedihnya, tetapi sayang, ayahnya sama sekali tidak dapat merespon atau setidaknya mendengarkan.

"Yah ... kayaknya aku lebih suka Ayah marahin Angga, daripada Ayah diam kayak gini."

Angga memang tidak pernah betul-betul membenci ayahnya, ia hanya benci bagaimana cara Harian memperlakukan dirinya. Dan, seolah buta tentang bakat dan impiannya.

"Kalau Ayah masih ngelarang aku melukis, mungkin bisa aku pertimbangin. Tapi, kalau untuk ninggalin Jihan, Angga nggak bisa." Angga mengusap sudut matanya yang berair. "Ayah harus bertahan, supaya Bunda baik-baik aja."

Di saat Angga membetulkan selimut yang digunakan Harian, datanglah seseorang yang tidak diundang. Angga menoleh ke belakang ketika mendengar suara pintu terbuka. Ia mengerutkan keningnya saat menyadari seseorang memasuki ruangan. Tampak gadis berpakaian selayaknya cewek kue, ia mengenakan rok merah muda yang panjangnya tidak mencapai lutut, dipadukannya dengan crop top dengan warna senada, tetapi lebih muda. Wanita itu membawa parcel buah-buahan di tangannya.

"Kiara?"

Setelah menggeser kembali pintu rumah sakit, gadis dengan surai bergelombang itu menyelipkan sedikit rambutnya ke belakang telinga, lalu ia memasang ekspresi tersedihnya. Setelah itu, ia taruh buah tangan di atas nakas. "Angga!" panggilnya sebelum memeluk pemuda di hadapannya. "Om Harian, hiks, ke-kenapa bisa, Ngga?"

Anggara otomatis memberi dorongan terhadap sang mantan, agar menjauh darinya. "Kiara, lepas." Ia berucap dingin, tidak peduli dengan air mata yang sudah pasti palsu itu. Kiara berusaha dengan sekuat tenaga agar tetap berada di dalam dekapan Anggara. Namun, tenaganya tidak cukup menjanjikan, terciptalah sebuah jarak di antara mereka.

"Ngapain elo di sini?" tanya Angga.

Gadis itu tampak kecewa. Dia mengelap air matanya dengan memasang wajah cemberut. "Gue mau jenguk Bokap elo, Angga. Kenapa? Nggak boleh, ya?"

"Ya, mau ketemu elo lah! Sok gak peka banget?" monolog Kiara.

Angga merasa tidak nyaman dengan kehadiran Kiara, tetapi ia juga tidak tega jika langsung mengusirnya. Kini Angga duduk di sofa, lalu menyalakan ponselnya. Kiara pun ikut duduk di sampingnya. "Dirga mana? Kenapa lo sendiri?" tanya Angga tanpa mengalihkan pandangannya.

Kiara membuang napasnya kasar. "Dirga sibuk, Ngga. Ya, emang selalu sibuk sih .... Sibuk ngurusin bisnis lah, sibuk belajar, sibuk jagain adeknya." Kiara hentakkan kakinya disertai ekspresi muaknya. "Nggak pernah ada waktu buat gue!"

Kiara mendekati mantannya yang tengah mengecek obrolan terakhir dengan Jihan, kekasihnya. Kiara meraih tangan pemuda itu lalu menatapnya. "Nggak kayak lo dulu, elo selalu prioritasin gue, Ngga. Gue kangen momen itu. Momen di mana—"

ANGGARA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang