02

75 29 1
                                    

Melewati pagar pembatas jembatan Sesie memejamkan matanya dan berucap. "Bila hadir gue luka apa pamit gue adalah bahagia ?"

Namun mata Sesie terbuka bersamaan tubuhnya yang di tarik seseorang.

"Lo mau mati ?"

Nada suara agak tinggi yang dingin milik cowok itu Sesie hanya diam sebelum menjaga jarak menghadapi.

"Gak."

"Terus lo ngapain di situ ?"

Sesie mengalih pandangnya kembali menatap langit-langit. Bibirnya terbuka berucap. "Gue cuma cape sama kehidupan."

"Tapi.. gue juga takut sama kematian." Sesie menunduk melanjutkan perkataannya lirih. "Karena gini-gini juga dosa gue banyak."

"Gue anterin." sahut cowok ini setelah diam harus merespon seperti apa.

Sesie menatap refleks cowok itu yang sudah menunggangi motornya, menyodorkan helm.

Ada angin apa hari ini? batin Sesie mengerjabkan matanya beberapa kali bingung lalu menjawab sebelum menghiraukan sambutan cowok itu menyodorkan helm padanya. Sesie beranjak pergi. "Gak usah."

"Gausah jual mahal." tangkas cowok itu.

Sesie berhenti dan menghampiri, berdiri di samping Fian dengan tatapan mengintimidasi. "Kita gak begitu akrab kenapa bicara lo lancang ?"

"Mau gue jual mahal apa gak. Mulut lo bisa diam aja gak. Mood gue lagi buruk."

Bukannya menggamang Fian malah melawan tatap dengan mengkilah. "Jadi? Mau gak kalau gak gue tinggal."

Sesie mencemberutkan bibirnya antara kesal kalah bicara atau harus mengelak kembali.

Ini kalau bukan Dimo mungkin ia tak senekat ini jalan kaki dan jalur rumahnya yang masih jauh mau tidak mau ia menerima saja ajakan Fian.

*

"Sesie." sebut seseorang menghampirinya lalu kembali berucap basa-basi. "Lo di sini ?"

"Ah iya.."

Respon yang sesimpel itu tak ingin lebih dalam Gina banyak tanya. Ia senyum lalu membuka lemari pendingin yang posisi mereka berdiri di samping benda itu itu.

"Nih." Gina menyodorkan minuman kaleng berwarna biru kehijauan itu dan berucap kembali. "Gue gak tau selera minum lo apa tapi semoga aja lo suka."

"Makasih." ucap Sesie menyambut sebelum mereka duduk di kursi tunggu. Bersamaan seseorang wanita paruh baya datang dari loket administrasi rumah sakit.

"Non-"

"Tunggu di mobil ya bi." Gina memotong bicara wanita ini yang langsung Sesie simpulkan kalau dia kemungkinan pembantu atau perawatan pribadi Gina. Itu terlihat dari penampilan si wanita.

"Non bisa jalan tanpa di papah ?"

"Kan ada tongkat ini bi." Gina menunjukkan tongkat kruk di sampingnya. Menatap Sesie dengan senyum khasnya. "Terus ada teman juga."

"Baik non. Bibi ke depan duluan."

Seperginya wanita paruh baya itu. Bibir Sesie terbuka saking gatalnya karena agak penasaran dengan kehidupan cewek di sampingnya. "Bibi?"

"Hm bibi yang ngerawat gue."

"Kok.. Lo gak sama nyokap atau bokap ?" tanya Sesie yang agak kikuk dan merasa aneh berbicara seperti itu. Terlihat Gina yang tak langsung menjawab dengan meneguk minuman kalengnya.

Sesie mendesis bersalah. "Gak usah di jawab-"

"Mereka udah pisah." kelit Gina menatap Sesie. Lalu menatap lurus melanjutkan perkataannya. "Mereka sibuk urusan sendiri. Gue kenapa-kenapa juga mereka mana peduli."

living with mentalillnessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang