38

18 5 0
                                    

"Bikin novel jangka waktu sebulan? Gila lu?"

"Iya gue gila kenapa?"

"Mending booking hotel gue sih."

"Hahaha..."

"Heh brengsek lo pada bisa diam gak! Berisik!" seru Jessi pada sekawanan di paling depannya meja barisan kiri. Sampingan jendela.

"Ibunya lagi stress urusan rumahtangga, makanya pelampiasan ke kita. Udah satu kelas jangan ada yang membuat!" 

"Ikutin perintah gue kalau gak mau satu bulan stress." perintah sesat dari Andre menatap ke sekeliling kelas, sebagian memang tak menulis namun sebagian lagi tetap kekeh menulis seperti orang yang paling pintar saja.

"Udahlah Ndre tulis aja apa adanya." sahut Raka yang juga sama sepemikiran Andre. Melanjutkan katanya lagi. "Yang penting selesai. Poinnya jangan pakai otak dan perasaan gue yakin belum sebulan udah selesai haha.."

"Gue juga gak habis pikir. Kemarin-kemarin baru juga bikin cerpen sekarang novel,"

"Cerpen kan mendingan lah ini novel woi. Gampang banget dia ngomong 'kamu bisa nyelesain dalam sebulan asal konsentrasi." hampar Andre menekan kalimatnya di beberapa kata. "Yaelah." lanjutnya lagi.

"Di sini yang lanjut kuliah siapa?" ucap Bani menambah kegaduhan. Dan berucap lagi bentuk olokan. "Bantu gue coba bikinnya gimana ?"

"Hubungannya apa anjing ?" Jessi ambil suara. Selain di perkataannya barusan di abaikan ia juga agak janggal di pembicaraan para cowok itu.

"Kuliah kan udah pasti skripsian nah kalo novel mungkin bagi dia gampang."

"Secara kan gue langsung nikah entar gak pake kuliah." Bani tertawa cengengesan. Namun di ekspresi cowok itu masih tergambar tingkah mengolok-olok.

"Kok bisa ada orang yang gak kuliah bangga gitu ngomongnya." Ini Sania berucap. Seperti sama sepemikiran dengan Jessi walau tidak sefrekuensi dalam hal interaksi.

"Hei! Mulut lo, lo mau ngebiayain kuliah gue emang?"

"Hidup beda jalan gak usah banyak tingkah ngomong!"

"Katanya lo mau nikah secara juga lo harus ngebiayain anak orang. Mending kuliah lo!" sahut Sania jelas seperti menantang bicara di akhir kalimatnya yang terdengar agak menyebalkan di Bani.

"Ngatur nih anak tol*l, gue kerja anjyng. Gue ngandelin diri sendiri bukan lo yang ngandelin orangtua." Bani melawan mode tenang namun begitu menyinggung di pendengaran Sania.

Brak!

Sania menggebrak meja, kelas yang tak begitu gaduh hanya pada mulut yang berinteraksi, itu terpusat padanya. Juga membuat semua terperangah karenanya.

"Gue gak setuju pernyataan lo itu! Bikin sakit hati gue bangs*t!"

"Orang yang kuliah itu walau andelin orangtua, kita ini juga masih anak mereka. Gak ada salahnya pakai uang orangtua."

"Itu lo tahu. Kenapa jadi pemarah gitu? Lo kaya. Jadi gampang semuanya."

Sania terdiam sesaat. Tapi masih ada kekesalan di benaknya yang belum di keluarkan semua, ia menghampiri ke cowok itu namun di tahan Argi.

"Diamin aja."

"Udah! Kalau sudah tahu jalan berbeda kenapa di debatin anjing tinggal lo jalan aja di pinggiran jalan, kalo lo pada makin debat entar ke serempet tahu rasa lo." tandas Raka menegur mode kalem seperti perumpamaan bagi yang paham.

Sania mengatur nafas dengan mendudukkan bokongnya agak di sentak. Wajahnya pun pasti memanas kesal.

Di sisi Sesie yang juga memusatkan pandangan pada Sania lalu mengalih tatapan pada Dino sekilas.

living with mentalillnessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang