36

24 6 0
                                    

"Terimakasih pak." ucap Yuna pada salah satu polisi dari kedua polisi yang hubungi oleh Vinka beberapa jam lalu.

Cowok itu di seret dengan borgol di pergelangan. Juga beberapa bukti dan rekaman cctv yang tersembunyi. Di serahkan oleh Yuna.

Yuna ini juga tipikal cewek bersikap dewasa, iya dari ekspresinya benar-benar keterkejutan dengan dua perasaan, yaitu kesal juga obsesi masalalu antara hubungannya dengan Rangga. Kalau seseorang bukan bersikap dewasa pasti dia akan menolak mentah atas pernyataan Sesie menyuruh menghubungi polisi biar cowok itu di tindak lanjutkan.

Meski begitu juga ada sifat Yuna yang tidak di sukai Sesie. Dan itu terlihat dari beberapa kali mereka berinteraksi juga permasalahan yang ikut libatkan Sesie.

Sesie mengikuti lagi langkah Yuna, yang cewek itu menghampiri Vinka dan memeluknya menenangkan. Di sisi itu pandangan Sesie terfokus pada kamar Vinka yang dua kali lipat besar dari kamarnya. Tapi kamar cewek ini super duper berantakan. Juga bekas bercak darah di mana-mana, Sesie menduga pasti karena self harm dari gejala bipolarnya. Dan juga beberapa luka lebam karena ulah Rangga.

"Kita ke rumah sakit—"

"Gak. Gue gak papa. Gue mau sendiri."

Yuna menatapi nanar Vinka lalu merengkuh cewek itu. Yang beberapa saat Vinka terisak dalam pelukan.

"Kenapa lo gak bilang tentang Rangga sebelumnya? Kalau tahu begitu sifatnya gue gak sekesal itu sama lo."

"Dan buat semua rumit kayak gini."

"Gue cuma gak mau kehidupan lo hancur gara-gara sama cowok gak bener. Makanya gue berusaha ngejauhin dia dari lo." jelas Vinka terbata dalam pelukan.

Yuna melepas rengkuhannya. Menatapi wajah Vinka, "Tapi lo yang jadi kayak gini. Lo yang jadi korban dia."

Vinka menggeleng. "Gue baik-baik aja. Selagi lo baik."

Yuna menegakan kepalanya untuk menahan buliran panas di matanya tak keluar. "Harusnya lo tetap bilang. Dan gak buat gue salah paham kayak gini."

Gue kayak obat nyamuk ya! Pergi gak enak. Paling tidak Sesie melangkah ke sisi ujung ranjang, duduk di pinggiran ranjang. 

"Yuna kerja ?" ucap Sesie pelan. Yuna menatapnya begitupun Vinka.

"Lo kerja?" ulang Vinka.

"Gue liat lo jaga di salah satu toko." lanjut Sesie melihat tatapan Yuna yang seakan meminta penjelasan sedikit detail.

"Yuna!" pekik Vinka. Ekspresinya seakan marah.

Yuna menjelaskan semestinya. "Iya. Kalau bukan gue siapa lagi yang biayain hidup gue sendiri."

"Lo kerja sambilan? Kenapa gak bilang gue! Lo masih sahabat gue, Yuna!"

"Gue gak enak Vin."

"Lo jangan peduliin orangtua gue! Lo itu bagian dari saudara gue."

"Gue gak mau tahu lo harus berhenti! Seenggaknya sampai waktu lulusan, jangan buat waktu masa sekolah lo capek."

"Gue mohon. Andelin gue, Yuna."

Yuna meneteskan air mata. Menutup wajahnya sendiri merasa bersalah. Pada sikap Vinka yang ia anggap selalu salah. Tapi kenyataan, setiap jujur kata. Vinka tidak sejahat yang dia pikirkan. Cewek itu menolongnya, juga berusaha membuatnya merasa layak hidup di dunia.

"Maafin gue Vin. Gue.." 

Dret.drett...

Ponsel dari Yuna berdering. Ia melihatnya, benar saja itu bos di kerjanya. Yang harus sekarang ia sudah kerja. Karena libur juga sudah beberapa minggu lamanya.

living with mentalillnessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang