37

20 5 0
                                    

Bel pulang berbunyi. Sesie mengikuti motor Yuna di depannya, ke rumah Vinka adalah tujuan mereka.

Sampai di tempat pekarangan rumah, seseorang berseru dari lantai atas balkon kamar.

"Yuna! Lo udah berhenti kan ?"

Yuna menatapi cewek itu yang udah mendingan dari penampilannya, menatap Sesie lalu masuk ke rumah.

Di sini, taman kecil belakang rumah-nya. Mereka duduk lesehan menatap kolam renang juga bunyi pancuran air di tepian kolam renang. Kolam itu jadi satu dengan taman yang ada satu sampai 3 pohon kecil. Juga hiasan tanaman di dinding tembok pembatas rumah.

"Jadi mama Aksa nginap kemarin?"

Vinka mengangguk. Wajahnya melirik ke samping kiri. Adalah Sesie yang tengah agak melamun. Ingin mengajukan bicara mulut Sesie lebih dulu berucap.

"Gue mau berterimakasih udah mau ngertiin gue di posisi itu."

Vinka mengerngit. Sampai Sesie menatapnya melanjutkan katanya. "Rumah makan."

"Oh itu, santai aja. Kewajiban teman kan membela bukan ngompor." Vinka tersenyum lalu menambah kalimat. "Tapi sama-sama."

"Tapi alasan lo apa ? Gue kira lo marah sama gue."

"Iya gue marah. Lo jahat banget gak mau temenan sama gue lagi. Tapi juga gue gak suka aja lo jadi bahan candaan sirkel sampah lo itu."

"Udah berhenti kan temenan sama mereka ?"

Sesie menggeleng. Juga terdengar agak kasar kalimat Vinka yang kedua. Ia membenarkan. "Gue masih mau temanan tapi ya gitu gak kayak dulu, gue malas aja negur."

"Lagian gue itu butuh temen Vin. Sejahat-nya mereka, mereka juga gak mengerti paling dasar hidup gue."

"Dan mungkin gue juga akan berprang-sangka kaya gitu kalau ketemu manusia aneh kayak gue."

Vinka melihat ada kesedihan di wajah cewek itu. Dan berusaha menunjukkan kalau insiden memburukkan diri dia adalah hal wajar. "Lo itu lucu Sie, empati di hati. Tapi di mulut di keluarin semua. Lucu emang."

"Gue gak duga lo juga kesel kan sebenarnya di hati, pasti lo nyumpah serapah?"

"Tapi biar buta empati. Seenggaknya mulut mereka gak ngompor di lebih-lebih kan di depan. Apalagi Wina tuh gas aja, gak ada rem, ngatain lo. Kena karma tahu rasa si gobl*k itu."

"Biasanya orang begituan baik attitude ya tapi kepengen jadi jahat. Astaga orang jahat aja mau tobat."  timpal Yuna seolah-olah paham apa yang di bicarakan kedua cewek itu. Vinka mendesis melihat tatapan Yuna yang memicing padanya.

"Iya bener. Tapi lo jangan natap gue gitu juga, gue gak sejahat itu—"  Menggantung ucapannya lirikan Vinka yang terarah pada Sesie langsung menghela nafas.

"Udah lah lupakan!"

"Sie rambut lo udah hitaman ?"

"Iya walau ada masih helai-helai abunya. Tapi mendingan lah daripada kena potong kan."

"Padahal gue suka rambut lo waktu itu, naughty girl." Vinka mengacungkan jempolnya dengan tersenyum.

"Bukannya lo bipolar kok bisa waras dalam jangka 24jam lebih sedikit, doang ?"

"Kasar Sie." sahut Vinka berekspresi masam. Sesie hanya tersenyum, karena cewek ini pasti tidak akan menganggap serius pada bicaranya. Yang keterlaluan. Dan Vinka sendiri juga sering sebaliknya.

"Gatau. Tapi sewaktu setiap check up. Gejala gue ini kadang kayak bipolar juga kadang kaya bpd."

"Dan gilanya jiwa gue langsung ngerasa sehat kalau udah ada orang bener-bener gue butuhin ada."

living with mentalillnessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang