17

39 19 0
                                    

Pelajaran usai semua murid bergegas keluar. Kelas pun hampir menyepi. Hanya tersisa beberapa orang.

Sesie menatap ke kiri depan. Cowok yang asik bermain ponsel tadinya di sana sudah menghilang keluar. Di datangi kursi dekat jendela itu dan mendudukinya. Ia melihat diam keluar jendela. Tepat di mana ia dapat melihat lapangan upacara dan basket yang menyatu.

"Sie, lo gak pulang?" tanya Riska, semua murid telah habis keluar kecuali mereka berdua.

"Semua orang itu menyedihkan." 

"Gue kadang terikut sedih dan merasa. Pengen bantu permasalahan orang itu. Tapi ingat gue juga menyedihkan ternyata.." Sesie tertawa merenyah.

"Kenapa semua orang yang begitu menyedihkan bisa menutup rapat dengan tawa senyum mereka?" celetuk Sesie lagi. Masih betah menatap keluar.

"Sebenarnya semua orang di dunia ini gak ada yang benar-benar bahagia. Mereka menyimpan luka sekecil ujung kuku yang mereka sendiri sadar namun berusaha untuk gak menyadarinya."

"Mereka sanggup."

"Iyakan Ris?" Sesie menoleh. Agak mendongak menatap Riska yang hanya diam.

"Tapi kenapa gue gak bisa sekuat mereka? Gue rasanya lelah, selalu berkeinginan gak melakukan apapun yang bener-bener melelahkan tenaga gue."

"Gue pengen menghilang tanpa jejak."

"Dan kehadiran gue yang seolah-olah gak pernah ada di sini."

"Sok quote lo ternyata ya? Enak aja ngatain gue menyedihkan. Gue bahagia! Tau lo!" lontar Sania yang kembali lalu melenggang pergi lagi.

Sesie mengabaikan omongan cewek itu. Terlihat tampak jelas, kekesalan di langkahnya menghilang dari balik pintu kelas.

"Lo tahu gak apa yang lebih menarik dari belajar ?"

Pertanyaan standar dari pernyataan ambigunya Sesie membuat Riska dapat menjawab kali ini.

"Pacaran."

Sesie menatap lekat cewek di sampingnya ini. Otaknya yang cuma di kelilingi laki-laki, dan laki-laki. Mungkin menikah muda adalah jalan hidupnya setelah lulus sekolah, lalu hidup sengsara deh tau rasa.

"Menurut gue pacaran udah paling menarik."

Sesie mengalih pandangannya. Tak berniat memprotes tanggapan dari Riska yang menjawab.

"Kalo gue, teman." celetuk Sesie tanpa berpaling dengan pandangan kembali keluar jendela.

"Lo tau gak gue sebenarnya suka temenan sama kalian. Di banding yang lain." tutur Sesie menyenderkan kepalanya di jendela. Pandangan fokus ke bawah. "Tapi sifat di antara kalian yang buat gue gak berminat."

"Kenapa gitu? Mereka juga masih temenan sama lo, bukannya mereka udah saling minta maaf sama lo?"

Iya di kata Riska memang benar. Tadi malam Sesie di tambahkan kembali ke dalam grup mereka. Dan yang memang salah meminta maaf. Tapi entahlah dari pendirian Sesie sendiri..

Seolah-olah permintaan maaf itu hanya bullshit semata.

"Kalau lo ngerasa kayak omong-kosong permintaan maaf mereka. Seenggaknya baikan aja, kita kan udah lama temenan."

"Saling nerima buruk baiknya Sie, mereka juga pasti gak akan ngomong yang udah-udah terjadi dan bikin berantem lagi."

"Gak ada yang gak pasti." sela Sesie menekan kata pasti di kalimat Riska.

"Lagian setiap hati seseorang gak ada yang bersih-nya Sie, Pasti ada rasa gak ikhlas dan perasaan lainnya." Riska melanjutkan kalimatnya tanpa mempertanyakan selaan Sesie barusan.

living with mentalillnessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang