XXXIV

53.7K 5.6K 438
                                    

Happy Reading All!!

🦖


Syila berjalan di lorong rumah sakit dengan mata setengah mengantuk bahkan sempat menguap beberapakali. Gara baru saja mengantarnya tadi, bukan baru saja, tapi sudah sekitar 20 menit yang lalu mungkin Gara bilang. Hanya saja, ia yang ternyata tidurnya terlalu nyenyak dan nyaman, saat motor sudah di parkir pun masih tetap tertidur dengan pulasnya.

Dan Gara, si pacarnya yang baiknya melebihi luasnya perairan di bumi itu memilih untuk tak membangunkannya. Syila bahkan masih sangat ingat kalimat apa yang Gara bilang beberapa menit lalu.

"Kak Gara kok nggak bangunin, sih? Pegel kan punggungnya nahan bobot gue tidur." Syila menggerutu sambil menepuk-nepuk punggung Gara dengan kepalan tangannya. Cowok ini, setelah ia bertanya, baru mengatakan bahwa ia tidur di parkiran mungkin sudah sekitar 20 menit.

Gara yang tengah ia omeli, nyatanya tengah tersenyum yang dapat ia lihat dari kaca spion. Gara bahkan merah tangan kanannya, membawanya ke depan dan menggenggamnya.

"Gue nggak papa, okey?" Gara turun, ia berdiri di hadapan Syila yang tangannya kembali ia genggam.

"Lo nyaman banget waktu tidur. Dan ini, isi kepala ini nggak serunyam saat sadar." Gara mengelus kepala Syila, membuat cewek itu merasa nyaman dengan sentuhan ringannya.

"Gue mau ngasih terapi penghilang rasa sakit paling ampuh walau cuman sebentar. Setidaknya Lo ngerasain yang namanya jeda, jeda sebentar untuk istirahatkan capeknya jiwa ini, begitu pula raganya." Gara memeluk Syila, kata hatinya mengatakan untuk jangan pergi barang sedetikpun dari sisi perempuan dalam pelukannya itu.

Dan perempuan yang tengah rapuh itu, kembali merasakan makna di cintai dan di dampingi dari 'seseorang' yang awalnya 'bukan siapa-siapa' tapi kini bahkan kehadirannya lebih 'ada' ketimbang yang 'sejak awal' adalah bagian dari 'hidupnya'.

Mengingat itu membuat Syila mengangkat sudut bibirnya. Ternyata benar apa kata orang, rumah tak selalu berbentuk bangunan, dan tempat pulang tak semuanya berdasarkan dari siapa kita dilahirkan. Nyatanya takdir setiap nyawa itu tak sama, keluarga yang merupakan bentuk ikatan sederhana itu, tak semuanya sempurna. Bahkan beberapanya ada yang seolah tak punya, atau bahkan memang keberadaannya yang tak pernah ada.

Syila menghela nafasnya, ia harus bisa mengontrol segala macam emosinya. Sebentar lagi ia akan sampai di ruang rawat inap Omanya, jadi Syila harus terlihat oke luar dalamnya.

Tadi, ia sempat melihat ponsel dan menerima kabar dari Omnya bahwa Oma sudah di pindah ke ruang rawat inap. Dan itu merupakan berita baik, karena dengan begitu, artinya keadaan Oma sudah tidak begitu mengkhawatirkan, Syila bisa bernafas lega untuk satu hal itu.

Begitu Syila sampai, ia menemukan keberadaan Tatia yang cukup mengagetkannya. Tapi yang lebih membuatnya langsung terdiam adalah ketika menemukan cowok yang presensinya tak pernah ingin Syila lihat di manapun.

"Tata."

Tatia yang tengah memainkan ponselnya mendongak, begitupula Devano yang duduk di sampingnya.

Pandangan Syila otomatis menatap pada Devano, cowok itu juga menatapnya penuh. Melihat tatapan itu, membuat kepala Syila seolah memutar ulang saat-saat dimana ia mendapati Devano menatapnya dengan serupa.
Dulu, saat pertama kali mereka di perkenalkan, Devano juga menatapnya seperti itu. Lalu saat berada di kantin dan tanpa sengaja Syila menemukan Devano menatapnya serupa dengan saat ini. Ia sudah berulangkali menemukan tatapan itu, tapi kenapa Syila baru menyadarinya sekarang.

Gara My BoyfieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang