XXXVIII

39.1K 4.9K 281
                                    

Happy Reading All!!

🦖

Hari ini bukan hari yang baik untuk Syila. Meskipun libur karena anak kelas 12 ujian, euforia yang ia rasakan nyatanya tak semenyenangkan itu. Apalagi saat malam tiba dan kedua orang tuanya bertemu di rumah Oma—membicarakan perceraian, juga pembicaraan antara Oma dan Papanya yang entah apa itu.

Syila hanya tahu sekilas mengenai pembahasan perceraian tersebut. Ia tak berani mendengar, tepatnya tak berani melihat kenyataan sebenarnya.

Dahulu sekali, mereka pernah bahagia. Saat usianya sekitar 6-9 tahun, keluarganya terasa sempurna. Mama Papanya selalu ada, selalu menebar kehangatan dan juga tawa. Papanya pernah jadi sosok lelaki paling sempurna, yang kelak jika dewasa, Syila ingin menemukan laki-laki seperti Papanya.

Mereka... Benar-benar pernah sebahagia itu. Sebelum Papanya naik jabatan, dan juga sebelum Mamanya berhasil menjadi dokter tetap di sebuah rumah sakit besar.

Mengenang hal itu seperti luka tersendiri, ada sebuah bahagia yang ketika diingat malah membuat dada terasa begitu sesak. Ingatan Syila untuk usia itu memang tak begitu jelas, tapi ia bisa merasakan bagaimana dirinya yang ketika kecil begitu bahagia.

Harusnya Syila mendengarkan nasehat orang dewasa dahulu, bahwa tumbuh besar itu tidak enak. belum apa-apa padahal, ia masih berada di masa-masa remajanya, tapi kenapa rasanya begini?

Syila hanya diam di dalam kamar, menyoret-nyoret buku tulis yang isi di dalamnya seharusnya ia pelajari. Kata cerai terus ia dengar, bagaimana kerasnya suara Mamanya yang mendebatkan mengenai hak asuhnya pun terdengar. Jika di beri pilihan pun, Syila ingin tinggal dengan Omanya saja.

Seberantakan apapun keluarganya sekarang, sebagai anak yang tentunya ingin keutuhan keluarga begitu juga kasih sayang mereka. Rasanya saat kata cerai itu terlontar, ketidakrelaan bercokol begitu dalam di lubuk hatinya. Syila ingin keluarga yang sempurna, Syila ingin Mama Papanya yang dulu kembali padanya.

Saat suara perdebatan tak lagi terdengar, Syila mendengar suara pintunya yang di buka dari luar hingga menyentak kesadarannya.

"Syila, lagi apa, Nak?" Suara lembut Rindu menyapa gendang telinganya. Suara yang akhir-akhir ini mengisi harinya setelah sekian lama hanya menyapanya di pagi hari.

Syila melihat pada bukunya yang sudah tak berbentuk, ia tutup buku itu sebelum Mamanya sempat melihat. "Belajar," jawabnya tanpa mau menoleh atau sedikitpun bergerak dari posisinya.

Rindu menaruh tangan di kepala sang putri, memberi sebuah usapan kecil pada rambut lebat Syila.

"Papa sudah pulang, dan kami... Kami memutuskan untuk cerai. Apa... Syila nggak papa dengan itu?" Rindu bertanya pelan, tak ingin kembali melukai hati anaknya. Tapi apa daya luka itu terus ia torehkan terus dan terus.

Syila diam begitu lama, ia kini memberanikan diri mendongak pada Mamanya. "Dari kemarin juga udah kenapa-napa Ma, terlalu telat untuk nanya hal seperti itu." Usai mengatakan kalimat itu, Syila berdiri hingga bunyi derit kursi terdengar.

"Lagian apa yang bisa di pertahanin dari kelurga kita? Papa punya kebahagiaannya sendiri, begitupun Mama. Mama dan Papa itu udah pernah memaksakan bertahan karena aku dan gagal, kan? Jadi Syila rasa, emang perceraian jalan terbaiknya. Bahagia Ma, Mama berhak dapat yang lebih baik dari Papa." Syila berlalu setelah mengucapkan itu dengan kelapangan hatinya. Ia memasuki kamar mandi, menguncinya dan memandang dirinya di depan sebuah cermin.

Gara My BoyfieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang