Lembayung Senja
Aku mengambil tempat duduk di sudut biasanya. Seolah itu adalah tempat yang di keramatkan, tak ada satu pun pengunjung yang diperbolehkan mengisi tempat itu selain aku. Mempunyai teman pemilik kafe ini merupakan keberuntungan yang kumiliki satu-satunya di kehidupanku. Aku sangat bersyukur bahwa dapat bertemu Kala, satu dari dua sahabatku yang lain.
Aku tidak dapat berteman dengan banyak orang karena sifatku yang suka menyendiri, aneh dan tertutup. Aku berteman dengan Kala saat kita masih di bangku sekolah dasar. Kemudian secara kebetulan kita juga bersekolah di SMA yang sama meski tidak satu kelas. Kala memperkenalkan Alyssa dan Alea, yang merupakan teman satu kelasnya dan berakhir menjadi teman sekaligus sahabatku. Mereka menempati satu sisi di ruang masing-masing dalam hidupku.
Kala, sahabatku yang sedikit nyentrik dan tidak pernah peduli akan penampilannya sebagai perempuan. Karena kebersamaanku dengan Kala cukup lama, jadi dia orang yang sangat mengenalku. Paling dekat. Aku selalu kesusahan ketika harus berpura-pura di depannya karena dia terlalu tahu luar dalamku.
Bersama Alea aku selalu meminta pendapatnya tentang naskah-naskah ceritaku yang lain. Alea tipikal perempuan yang sangat menarik dan seru diajak bicara. Kita sering membicarakan hal random yang berakhir sebuah ide cerita menarik tersusun menjadi sebuah plot untuk ceritaku selanjutnya.
Dan dengan Alyssa, perempuan itu satu-satunya yang sangat mirip denganku. Pendiam meski tak sedingin aku, dia terkesan seperti manequin yang tersenggol sedikit saja bisa hancur. Hatinya sangat lembut.
"Kenapa wajah lo?" Kala datang membawa secangkir matcha kesukaanku.
"Ah, ini...?" aku menyentuh sudut bibirku yang perih akibat tamparan Papa yang begitu keras. "Nggak sengaja jatuh."
"Sinting. Lo pikir gue anak SD yang bisa dibohongin?" Kala menarik satu kursi di depanku lantas menyeretnya mendekat lalu dia mendudukinya. Sembari menumpu tangan di atas meja, Kala menatapku. Jenis tatapan yang sangat kubenci dari semua orang yang melihat keadaanku seperti ini.
"Please. Aku nggak butuh dikasihani, La." kataku memperingatkan dengan tegas.
"Nggak Senja, nggak bisa begitu. Lo itu teman gue, dan ketika keadaan lo seperti ini sudah sepatutnya gue bertanya." Kala mulai menaikan satu oktaf nada suaranya. Membuat beberapa pengunjung yang tanpa sengaja melewati meja kita menjadi melirik diam-diam. Aku yakin di antara mereka pasti menerka tentang apa yang terjadi ketika dua orang perempuan bertengkar; salah satunya pasti karena laki-laki.
Aku begitu menyayangkan pikiran mereka. Kalau boleh dan kalau bisa aku ingin sekali bertengkar dengan Kala. Tapi tidak pernah. Setebal apa aku membangun tembok pembatas, Kala tidak akan membobolnya. Dia sangat tahu cara membuatku nyaman berada di dekatnya. Aku tak pernah bertengkar dengan Kala, walau kata orang, laki-laki adalah racun bagi persahabatan wanita. Aku, Kala, Alyssa dan Alea tak pernah mengalami hal tersebut. Bukan berarti kita tidak pernah menaksir laki-laki yang sama. Aku ingat dulu ketika diam-diam menyukai seorang laki-laki yang ternyata Kala pun menyukainya. Dan kita sepakat untuk menenggelamkan perasaan masing-masing, lalu mencoba melempar umpan baru tanpa menginginkan seekor ikan yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Last Sunset
Romance"A sunset paints the sky as if there were no tomorrow" -Anthony T. Hincks-