Chapter 39

81 17 5
                                    

Lembayung Senja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Lembayung Senja

Hal pertama yang aku temukan saat membuka mata adalah Papa yang duduk di sofa sebelah kanan ranjang sedang membaca koran. Tidak jauh dari sana, Tante tengah menyusun beberapa baju dari tas lalu memindahkannya ke sebuah lemari.

Aku melengkungkan bibir mengingat semalam saat terbangun menemukan Papa sedang menungguiku. Dia lebih memilih menggeser satu kursi untuk duduk disamping ranjang sambil menggenggam tanganku. Aku tidak yakin tentang perasaan familiar ini, rasanya seperti dejavu. Aku yakin pernah merasakan hal yang sama. Padahal seingatku sejak kecil Papa tidak pernah menaruh kekhawatirannya padaku. Sehingga sebisa mungkin aku menjaga diri agar tidak terluka ataupun sakit karena tahu tidak akan ada orang yang mau menaruh perhatiannya selain Mbok Rasmi.

Tapi semalam Papa benar-benar ada, menjelma sebagaimana mestinya orangtua menemani anak mereka yang sedang sakit. Iya, tidak heran jika Papa melakukan hal tersebut saat mengetahui tentang penyakitku. Mungkin saja Papa merasa bersalah telah berbuat banyak dosa terhadapku dan dia ingin menebusnya. Jika begitu sikap apa yang harus kutunjukan? Aku dan dia terlalu lama asing.

Aku memejamkan mata sembari menarik nafas panjang  sebelum memalingkan wajah ke arah jendela. Mataku menangkap sebuah vas bening dengan beberapa bunga matahari yang menghias cantik di atas nakas. Bayangan garis gorden yang masih tertutup terpantul di dinding oleh sinar matahari. Saat tanganku yang masih terinfus terulur membelai kelopak bunga itu, Papa menyadari pergerakanku dan bangkit dari duduknya.

"Kamu sudah bangun?" Papa melipat koran kembali dan berjalan ke arahku diikuti Tante Ajeng yang mengucapkan rasa syukurnya berulang kali.

"Hm.."

"Tadi Kai yang menaruh bunga itu sebelum kamu bangun."

Aku mengangkat wajah menatap Papa, ada lingkaran hitam dibawah matanya yang keriput. Jelas sekali jika dia kurang tidur.

"Kai ada di luar. Mau Tante panggilin?"

"Nggak perlu. Aku mau minum."

"Biar Papa bantu."

Papa menaikan ranjang sedikit ke atas lalu menaruh bantal dibalik punggung sehingga posisiku sudah sedikit duduk dengan nyaman.

Aku menerima gelas berisi air yang diberikan Tante Ajeng, "terimakasih," kataku.

Hening. Kecanggungan jelas tercetak dari gelagat Papa dan Tante Ajeng. Jadi aku coba bicara, "apa dokter Irwan sudah jelasin penyakit yang aku derita?"

"Iya." Papa menjawab singkat.

Dia menunduk enggan menatapku. Sedangkan Tante Ajeng duduk di sisian ranjang, tangannya mengusap-usap pundakku. Terlalu aneh rasanya berada di situasi seperti ini. Wajah muram Papa dan perhatian Tante Ajeng, aku tidak terbiasa.

Untung saja kecanggungan ini cepat terganti oleh kedatangan Kala. Dia datang bersama dengan Kaindra dibelakangnya yang sedang menutup pintu. Kala langsung memelukku, dia menangis tersedu.

Our Last SunsetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang