Chapter 9

139 23 11
                                    

Lembayung Senja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Lembayung Senja

"Hey maaf aku telat," aku menghentikan fokusku mengetik saat sentuhan terasa dipundak dan seseorang berjalan duduk di bangku depan. "Kamu sudah lama?"

"Lumayan menghabiskan satu gelas matcha," aku melirik gelas kosong yang teronggok disampingku. "Jadi ada hal penting apa yang ingin kamu bicarakan sampai nggak bisa menunggu besok?"

Kaindra menggeser amplop cokelat besar yang dibawanya kepadaku. Lalu dia bersender sembari melipat kakinya. Aku menatapnya dengan tatapan penuh tanya. Tapi alih-alih menjawab dia hanya memberikan kode dengan dagunya agar aku membuka amplop tersebut.

Aku menyempatkan meliriknya kembali ketika amplop sudah ditangan. Kaindra tampak tidak sabar, jemarinya mengetuk-ketuk paha menungguku untuk membuka. Aku berdehem ketika mata kita berserobok, detak jantungku seketika meningkat dan tidak mau diam.

Ada dua lembar kertas dengan materai di dalam aplop tersebut. Tulisan yang diketik dengan huruf tebal bagian atas menyita minatku. Aku membaca judulnya berkali-kali.

Perjanjian Pernikahan Kontrak.

"Kamu boleh baca point-pointnya disana. Jika ada yang mau kamu tambahkan atau tidak kamu setujui, bilang saja sama aku."

Aku menatapnya lurus, dan dia tersenyum simpul padaku. Tapi sayangnya kali ini pemandangan tersebut tidak terlihat menarik. Ah, aku lupa jika semua ini hanya sandiwara agar kita saling menguntungkan. Sejenak aku melupakan tujuanku menikah dengannya.

Dengan dipenuhi kekesalan yang tidak berdasar, aku langsung saja membuka pencil case dari dalam tas lantas mengambil pen. Saat aku hendak menandatanganinya, tangan Kaindra mencengkram pergelanganku. Aku menaikan tatapan ke arahnya.

"Kamu nggak baca isinya terlebih dahulu?"

"Untuk apa aku membaca dua kali hal yang sama. Bukankah kamu sudah mengirimkannya beberapa hari lalu lewat email? Aku pikir itu hanya candaan."

Kaindra terkekeh dan itu semakin terasa menyebalkan bagiku.

"Aku nggak mau mengambil resiko Senja. Biar kita sama-sama aman. Jika salah satu dari kita melanggar kontrak tersebut, kita bisa menggugatnya."

"Oke. Tiga tahun?"

"Iya. Sebelum tiga tahun sepertinya tujuan aku bakalan tercapai."

"Sebelum tiga tahun saat sudah mencapai tujuan kamu, aku berhak pergi kapan saja?" kataku menambahkan.

"Tentu saja," ucap Kaindra dan mata kami saling mengunci iris masing-masing.

Aku menandatangani lembaran kertas bermaterai tersebut dan memberikan satu kepada Kaindra.

Kaindra memandang satu kertas di tangannya yang sudah kutanda-tangani, "kamu nggak keberatan dengan sentuhan fisik?" satu tangannya merayap mengabsen jemari tangan dan memainkan cincin yang tersemat di jari manisku. Iya, cincin pemberiannya beberapa waktu lalu. Tidak ada acara lamaran mengesankan seperti yang terjadi dalam kisah romantis. Kaindra hanya menanyakan ukuran jemari lalu keesokan harinya kurir sampai dirumahku dengan sebuah kotak beludru berisi cincin. Dia bilang itu hanyalah sebuah tanda, dan memintaku untuk selalu memakainya.

Our Last SunsetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang