Chapter 7

129 24 10
                                    

Kaindra Batara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kaindra Batara

"Gila lo Kai. Jangan sinting deh!"

Adi mulai berteriak. Respon yang sudah gue antisipasi dari awal ketika akan membicarakan hal ini. Gue tidak menyahutinya dan lebih memilih menenggak minuman.

"Gue memang membantu lo untuk mencari tahu tentang wanita itu. Tapi menikah?" Adi menggeleng-gelengkan kepala, "jangan gila Kai! Inget tujuan awal lo!"

"Di, justru menikah dengan dia itu mewujudkan semua tujuan awal gue."

"What?"

"Pokoknya begitulah. Panjang ceritanya."

"Dia anak orang Kai. Dan hidupnya mau lo hancurin begitu saja hanya gara-gara rencana lo itu."

"Nggak begitu Di. Dia punya tujuannya sendiri begitu pun gue, jadi kita nggak ada yang merasa dirugikan."

"Maksud lo?"

"Gue bingung menjelaskannya. Yang pasti kemungkinan pernikahan ini hanyalah sebuah kontrak. Gue juga nggak tahu apa yang dia inginkan."

"Sinting lo berdua!"

Getaran panjang ponsel di dalam saku celana memutus percakapan dengan Adi. Satu nama kontak yang selalu di hindari kini tertera di layar. Gue menarik nafas panjang, mengumpulkan keberanian untuk berbicara kembali dengannya.

"Gue keluar sebentar cari udara segar." pamit gue kepada Adi lalu berjalan keluar bar.

Panggilan itu sudah terputus. Gue berjalan ke gang kecil tepat disamping bar. Memilih menyembunyikan tubuh di samping tumpukan box bekas alkohol. Menatap siluet diri sendiri dari pancaran lampu jalanan yang meremang.

Gue menimbang untuk menghubunginya kembali atau tidak. Lalu seseorang tiba-tiba lewat.

"Hei... Apa kamu punya rokok?" tanya gue sembari mengulurkan uang pecahan lima puluh ribu pada seorang anak laki-laki muda.

"Ada Mas. Tapi cuma sisa tiga batang. Kalau mau Saya belikan, warung di depan sana masih buka," tawarnya.

"Nggak perlu. Tiga batang sudah cukup. Boleh juga dengan korek apinya?"

Menerima rokok itu dan anak laki-laki tersebut pergi dengan uang yang gue berikan.

Gue menyulut korek api lantas menyalakan rokok di tangan. Menghisapnya lalu mengembuskan secara perlahan. Memperhatikan kepulan asap yang berterbangan, seolah itu adalah kekhawatiran yang berhasil gue singkirkan dari dalam diri.

Gue memegang ponsel lalu menekan panggilan satu kontak. Sambil terus menerus menghisap rokok, panggilan itu akhirnya terjawab.

"Hai Rin," susah payah gue menjaga suara agar terdengar normal.

"Ya Tuhan, Kaindra. Kenapa susah sekali menghubungi kamu?"

"Aku sibuk Rin, kamu tahu kerjaan aku selalu numpuk."

Our Last SunsetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang