Chapter 21

126 23 9
                                    

Lembayung Senja

Tag aku kalau ada typo :)
Happy Reading.

Sekali lagi aku menghembuskan nafas setelah helaan panjang. Ponsel yang ku biarkan tergeletak begitu saja di samping laptop yang terbuka kembali menyala. Menampilkan panggilan dari sebuah kontak yang hari ini sengaja ku hindari.

Jelas masih terasa perih atas hal yang terjadi semalam. Meski tidak mempunyai hak apapun, aku masih istrinya. Dan harga diriku sebagai seorang istri benar-benar sudah jatuh di depan mantan kekasihnya. Kekecewaan tak berdasar terus ku alami. Memerangkapku dalam sebuah rasa sakit yang asing. Bukan karena aku sedang mengalami flu, atau tubuhku jatuh setelah bermain sepeda dan tergores. Terasa lebih perih dari itu semua.

Aku sadar berharap pada manusia sama saja menggantungkan nyawa diri sendiri. Jika tak sesuai harapan, kita yang mati.

Janji yang sengaja dibuat. Layaknya sebuah lilin yang nyala dalam kegelapan. Seperti sebuah harapan bahwa kedepannya akan lebih baik. Kira-kira seperti itulah gambaran yang kuterima ketika ajakan makan malam darinya terlontar. Aku bukan anak kecil yang tidak mengerti bahwa dua orang dewasa pergi di malam hari adalah gambaran sebuah kencan.

Matahari sore baru saja turun. Bohong jika aku bilang hari itu tidak ada acara. Sebenarnya aku harus hadir ke proses syuting hari pertama dimana cerita dari salah satu novelku akan di angkat ke layar lebar. Tapi karena godaan tak tersirat dari ajakan makan malam lebih menarik minat, aku beralasan jika tidak bisa hadir dalam proses syuting.

Lama aku habiskan waktu. Berjam-jam berdiri di depan lemari pakaian sembari menarik satu per satu gantungan baju lalu mengepaskannya ke tubuh. Aku mematut diri di depan cermin lalu berdecak ketika merasa tidak cocok dengan pakaian yang kupilih.

Beberapa helai pakaian yang sempat kucoba berhamburan di atas sebuah sofa yang berada dalam walk in closet. Lama aku pandangi isi lemari kemudian ide baru muncul untuk sesekali memakai gaun. Akhirnya pilihan terakhir jatuh pada sebuah gaun bernuansa nude.

Setelah berdandan sebentar, aku melirik jam yang menunjukan pukul 18.30 malam. Artinya sebentar lagi Kaindra pulang karena pria itu memberitahu reservasi restoran di jam 20.00. Di ruang tamu aku berjalan mondar-mandir. Melirik jam dinding serta pintu bergantian, tidak sabar menunggunya pulang.

Satu pesan yang masuk memberitahu bahwa sudah seharusnya aku tidak terlalu berharap. Hanya karena dia membatalkan janji karena urusan perusahaan yang mendesak entah kenapa begitu mempengaruhi suasana hatiku saat itu.

Aku kembali ke kamar. Lama duduk di pinggiran ranjang, di depan nakas teronggok sebuah cermin kecil. Dari benda itu pantulan diriku terlihat. Apa yang sebenarnya aku kecewakan? Lalu aku berdecih, merasa menjadi orang yang paling bodoh. Menghabiskan hampir satu jam hanya untuk memilih baju yang akan dikenakan. Tidak ingin semakin menertawakan diri sendiri, akhirnya aku memutuskan berganti pakaian.

Sisa waktu hari itu kuhabiskan di ruang kerja. Setelah jam menunjukan lewat dari tengah malam, aku berniat menuju kamar dan tidur. Meski keinginan begitu mendesak untuk mengirim pesan bahkan menelpon Kaindra, aku mengurungkan hal tersebut karena tidak ingin mengganggu urusan pekerjaannya. Tapi urusan pekerjaan apa yang dia lakukan ketika hari sudah mulai berganti?

Mendengar suara seseorang tengah membuka pintu depan, aku mengurungkan diri untuk merebahkan tubuh di atas kasur. Berjalan keluar kamar lalu menuruni tangga, ku hentikan kaki pada dua anak tangga terakhir. Menatap dua orang yang baru masuk di tengah gelapnya ruang yang hanya menyisakan cahaya dari lampu balkon. Meski hanya sebuah siluet, aku dapat menebak siapa mereka. Kaindra dan Karin.

Kaindra menggumam tidak jelas ketika Karin menidurkannya di sofa. Pria itu menangkup wajah Kari dan berbicara. "Oh, aku pikir Senja karena sudah sampai apartemen."

Our Last SunsetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang