Chapter 35

120 15 5
                                        

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Kaindra Batara

Banyak hal yang terjadi diluar kendali gue akhir-akhir ini. Yang membuat diri sendiri mempertanyakan apa yang sebenarnya gue mau. Pikiran terlalu rumit, padahal awalnya hanya sebuah titik yang terus tergambar melingkar berulang kali hingga memenuhi kertas putih. Bukan memecahkannya satu persatu, gue malah melarikan diri dari semua itu dengan bekerja. Menumpuk pekerjaan yang tidak pada porsinya.

Sepulang dari Bali gue mengiyakan permintaan Karin untuk melakukan tes dna. Dan seminggu yang lalu hasilnya pun keluar. Cukup membuat gue tidak pulang tiga hari ke apartemen, beralasan pada Senja bahwa ada kunjungan ke luar kota. Padahal gue hanya membutuhkan ruang untuk berpikir.

Melissa terbukti darah daging gue dan Karin. Awalnya gue tidak percaya, tapi Karin juga melakukan hal yang sama pada Ardan, nama pria yang mengaku sebagai ayah Melissa. Ardan tidak memiliki kecocokan dna pada anak berumur tiga tahun itu. Perasaan gue susah sekali dijelaskan, tidak ada secuil pun rasa senang yang bertengger dalam diri. Bukan berarti Melissa sebuah bencana di hidup gue, bagaimanapun anak kecil itu tidak tahu apa-apa.

Tidak ada tuntutan dari Karin seperti meminta untuk menikahinya. Hanya saja ada yang mengganjal saat Karin terus menerus mengirim pesan, kamu nggak mau ketemu sama Melissa, atau, kamu nggak mau kenal sama Melissa lebih deket? Untuk itu gue mencoba, perlahan mengunjungi gadis kecil itu setelah berpikir.

Melissa tentu saja tidak asing dengan gue, belum ketemu saja rasanya dia sudah mengenal gue dengan lama. Itu karena Karin yang selalu menceritakan detail apapun tentang gue pada gadis yang berumur tiga tahun lebih itu. Jadi, saat Karin menawarkan untuk mengantar Melissa ke sekolah tentu saja gue mencobanya.

Hari itu Melissa tampak senang duduk di kursi penumpang bersama baby sitternya, Mbak Dina. Melissa berceloteh menceritakan hal apapun kepada gue dengan tata bahasa yang masih sulit dicerna. Beberapa kali Mbak Dina membenarkan ejaan kata yang di ucapkan Melissa, atau memberitahu tentang maksud gadis kecil itu ketika gue tidak mengerti artinya. Memang harus penuh kesabaran, namun hal baru itu telalu menggemaskan. Gue melirik pada spion dalam mobil, memandang Melissa yang tengah bernyanyi, sesekali berhitung dari angka satu ke sepuluh meski kadang beracak.

Sudut bibir gue tersenyum menangkap semua tingkah lucu gadis kecil itu. Dari awal gue tidak pernah membenci Melissa. Hanya saja mengingat bagaimana perlakuan Karin dulu, gue yang awalnya tahu pengkhianatan Karin, tidak ingin mengetahui lebih jauh bukti perselingkuhannya yaitu Melissa. Itu dulu, sebelum Karin menjelaskan semua hal yang terjadi.

Gue membalikan tubuh setelah mobil berhenti di depan sekolah playgroup, "Om Kai nganterin Melissa sampai sini aja, ya. Lisa nanti sama Mbak Dina kaya biasa."

Bibir mungil gadis itu mengerucut dia berdecak kesal sambil memeluk tas ransel miliknya di depan dada.

"Om, Ica mau main di dalem sama Om Kai. Main cat." Kira-kira itulah yang gue tangkap dari kata-kata Melissa.

Our Last SunsetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang