Chapter 22

258 24 11
                                        

Lembayung Senja

Sesampainya di apartemen, aku langsung pergi ke dalam kamar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Sesampainya di apartemen, aku langsung pergi ke dalam kamar. Karena bingung harus apa dan malas untuk berhadapan kembali dengan Kaindra karena perasaan kesal yang lagi-lagi enggan mereda, aku berjalan ke arah walkin closet. Berniat untuk merapikan isi lemari yang sebenarnya sudah terlihat rapi. Aku bukan tipe orang yang mengambil baju dengan serampangan. Bahkan sebaliknya aku terlalu rapi dan perfectsionis dalam beberapa hal.

Entah sudah berapa lama aku melepas baju dari gantungan lalu memasangnya kembali hanya untuk membunuh waktu. Ketika merasa emosiku sedikit mereda, helaan nafas kuhembuskan lalu berbalik hendak kembali ke kamar tidur. Disana, Kaindra sedang bersender di antara bingkai pintu yang menghubungkan walkin closet dengan kamar utama. Dia bersidekap memandang lurus ke arahku.

Berusaha mengabikan kecanggungan diantara kami, aku berjalan melewatinya begitu saja. Terdengar derap langkah dari belakang dan benar saja Kaindra mengikutiku. Mengabaikannya dengan berjalan turun menuju dapur. Aku mengulurkan tangan ke arah kabinet hendak mengambil sebuah cangkir.

"Astaga... Kamu tuh..?" aku menggeram kesal ketika berbalik mendapati Kaindra yang tidak mundur sejengkal pun untuk mengikutiku.

"Kita harus bicara serius."

Aku mengerjap. Menatap tidak percaya pada Kaindra. Seketika darahku kembali mendidih karena kekesalan. Iya memang kita harus bicara. Lalu apa yang dia lakukan selama perjalanan pulang? Hanya diam seperti orang bisu dan menganggap tidak ada masalah apapun diantara kami.

Berjalan kembali melewatinya lalu menuang air putih ke dalam cangkir lantas meneguk tandas. Berharap dapat meredakan haus amarahku yang ingin tersalurkan. Aku berusaha mengatur nafas. Lalu berbalik menatap tajam padanya dengan satu tangan di pinggang sementara tangan satuku menggenggam sisian meja.

"Tidak ada yang terjadi antara aku dan Karin malam itu. Aku bahkan tidak tahu jika dia yang mengantarku pulang. Ku pikir ya... Adi menjadi orang terakhir yang ku ingat mengantarkanku keluar bar menuju basemen."

Aku berdecih meremehkannya, "kamu berpamitan untuk mengantarnya pulang saja aku mendapati bekas bibir wanita itu. Lalu aku harus percaya bahwa tidak ada yang terjadi saat kamu bahkan lupa akan kesadaran diri sendiri akibat alkohol?"

"Demi Tuhan tidak ada yang terjadi, Se--"

"Jangan bawa-bawa Tuhan, Kaindra!" aku menjerit untuk pertama kali dalam perdebatan yang terjadi sejak beberapa jam lalu. Dia tampak terkejut akan emosiku yang meluap. Kepalanya yang terdongak ke atas dengan helaan nafas panjang membuatku tahu bahwa amarahnya sudah terpancing.

Kaindra menatapku kembali. Kini kedua tangannya sudah bersidekap di depan dada. Bibirnya yang terkatup dengan sorot mata yang terkesan menguliti, menantangku dalam diam untuk melanjutkan perdebatan ini. Tentu saja aku menyambut permintaan itu dengan baik. Semua kata-kata yang mengganjal bergumul jadi satu dalam kepala yang siap untuk keluar.

Our Last SunsetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang