Chapter 44

115 15 4
                                    

Lembayung Senja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lembayung Senja

Mengingat malam itu, malam dimana semua yang aku pertaruhkan dalam hidup seketika harus kulepas semua. Harapan-harapan berwujud doa yang selalu aku lantunkan setiap malamnya menjelang tidur dengan menyebut satu nama. Meminta Tuhan untuk paling tidak mengabulkan satu keinginanku, saat aku rela menanggung penyakit yang tidak lepas dari kehendaknya. Yaitu, aku ingin bersama Kaindra. Di hari-hariku yang biasa saja, senang bahkan sedih. Aku ingin bersama dengan dia.

Tapi rupanya Tuhan benar-benar masih mau mengujiku. Dia ambil semua yang tersisa dari hidupku. Satu-satunya pria yang kupikir akan menjadi pilar penopang yang untuk tetap mengokohkanku, nyatanya tetap sama, semua hancur. Berantakan. Sejak dia memilih keluar melewati garis pintu, saat itu juga, kulepas semua yang kumiliki bersamanya.

Alih-alih memilih taksi, aku berjalan pontang-panting di tengah hiruk pikuk kendaraan ibukota malam hari. Berusaha menegaskan kembali atas keputusan yang kuambil. Sesekali mengingat banyaknya kenangan bersama Kaindra. Meski sudah semenyakitkan ini, tidak ada penyesalan secuil pun yang aku rasakan. Mungkin benar aku marah, benci, tapi aku tidak menyesal mengenalnya.

Dia satu-satunya yang pernah membuat aku bahagia sampai aku rela menukar apapun untuk merasakan perasaan itu lagi. Dia rela memberi waktunya untuk wanita penyakitan sepertiku ini. Jadi, meninggalkannya tentu hal yang terbaik agar dia menemukan kembali
cinta lain, dan mungkin dari masalalunya itu.

Jarak apartemen sampai terminal bus tidak terlalu jauh. Hanya memakan lima belas sampai dua puluh menit jika kita mengenakan kendaraan. Karena aku berjalan kaki, jadi hampir satu jam kuhabiskan agar sampai.

Aku memesan tiket bus eksekutiv menuju Semarang. Sengaja memilih bus daripada kereta, semata agar jejakku tidak terendus. Aku yakin setelah menyadari kepergianku, Kaindra akan mencari-cari kemanapun sampai dia dapat. Aku tidak boleh setengah-setengah ketika ingin kabur darinya.

Bus mulai jalan, dan aku membentangkan selimut. Menyembunyikan seluruh tubuh dibaliknya lalu terisak.

Aku turun dari bus dengan langkah gontai, menyeret koper yang baru saja dikeluarkan dari bagasi lalu berjalan lunglai ke arah ruang tunggu. Tidak sedang menunggu dijemput siapapun, aku hanya ingin beristirahat sebentar setelah perjalanan darat yang begitu panjang. Rasanya teramat lelah. Meski penumpang bus tidaklah penuh karena ini belum memasuki hari libur, kepalaku terus saja berisik. Seolah ada banyak orang yang tengah mengajakku bicara. Sehingga aku tetap tidak dapat memejamkan mata sepanjang jalan. Walaupun berusaha pergi sejauh mungkin dari Kaindra, aku tidak dapat mengalihkan pikiran darinya. Apa sekarang dia sedang mencariku? Atau malah sibuk mengkhawatirkan Karin?

Setelah merasa cukup beristirahat, aku kembali berdiri. Menyeret koper kemudian keluar dari area terminal. Hembusan angin pagi menjelang subuh membuatku menarik risleting jaket hingga atas sebatas bawah dagu. Berjalan ke sisi luar area terminal yang berjejer beberapa taksi. Di dalamnya ada supir taksi tengah tertidur dengan kaca jendela yang dia biarkan terbuka setengahnya. Karena merasa tidak enak hati untuk membangunkan, aku berjalan kembali dari satu taksi yang terparkir ke taksi lainnya. Tidak jauh dari sana ada sebuah warung yang masih buka. Tiga orang pria dengan seragam khas perusahaan taksi ternama tengah bermain kartu. Sesekali mereka menyeruput kopi yang terhidang di depanya masing-masing.

Our Last SunsetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang