Chapter 41

91 17 7
                                    

Kaindra Batara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kaindra Batara

Memilih mengabaikan perasaan Senja sama halnya seperti menyakiti diri sendiri. Awalnya gue pikir akan sedikit tega membiarkan Senja dengan segala pemikirannya karena terlalu khawatir akan keselamatan Melissa. Tapi belum sampai di setengah perjalanan, gue langsung memilih menepi. Lalu menyandarkan kepala ke atas lengan yang terlipat di kemudi. Dengan memejakan mata, kilatan gambar kekecewaan dari sorot mata Senja hadir. Seolah memberitahu kesalahan gue kali ini benar-benar keterlaluan.

Gue memukul stir kemudi sebanyak tiga kali meski benda itu tidak salah apapun. Hanya saja gue ingin melimpahkan kesalahan kepada orang lain. Bagai tayangan film yang terlihat, adegan demi adegan kebersamaan bersama Senja kini menjelma sebagai penyesalan atas tindakan bodoh yang baru saja gue lakukan.

Gue mengangkat wajah dengan tubuh menegap, mengusap dengan telapak tangan kemudian menarik nafas sedalam mungkin. Saat pikiran sudah sedikit jernih, gue menarik ponsel dari dalam saku. Satu pesan dari Senja berupa voice note coba gue abaikan dan memilih mencari kontak Adi.

Di dering pertama, Adi langsung mengangkat panggilan dan bersyukur akan hal tersebut.

"Kenapa Kai? Pulang dari Bandung aja, lo masih mau ngomongin kerjaan?"

"Di, gue butuh bantuan lo."

"Bantuan apa?"

"Tolong lo cek ke apartemen Karin, barusan dia bilang Ardan nyamper kesana dan mau bawa Melissa. Gue udah hubungin polisi kenalan gue, dan mereka juga bakalan kesana. Gue titip Melissa sama lo ya, Di. Ada hal yang perlu gue urus dulu."

Saat keluar dari pintu apartemen tadi, gue langsung menghubungi salah satu polisi kenalan gue. Mendengar bagaimana cerita Karin yang bilang jika Ardan mencegat mereka di basemen dan berusaha merebut Melissa dari gendongan Karin, membuat gue mengambil keputusan untuk melaporkannya. Hal yang seharusnya sudah gue lakukan dari dulu.

"Oke, nanti gue kabarin lo secepatnya."

"Thanks."

Begitu panggilan itu terputus, gue langsung melajukan mobil. Jalanan yang gue ambil adalah jalan satu arah sehingga butuh sedikit waktu lebih lama untuk menemukan rambu putar balik.

Gue mengendarai mobil dengan kecepatan di atas rata-rata biasanya gue berkendara. Berbagai skenario sudah tersusun untuk meminta maaf pada Senja, gue yakin dia akan menerima permintaan maaf ini. Jika sedikit keras kepala, mungkin gue akan memohon berulang kali agar dia mau memaafkan. Tinggal dua minggu lagi keberangkatan ke Australia. Setelah pengobatannya selesai, gue akan bicara jujur tentang semua dan lagi-lagi berharap dia akan mengerti.

Setelah tiba di apartemen, gue mendorong pintu dengan percaya diri untuk masuk. Hal pertama yang gue jumpai adalah kegelapan di seluruh ruangan. Tidak biasanya dia mematikan semua lampu. Senja selalu menyalakan stand lamp, atau lampu ruangan tertentu agar bukan gelap yang di temukan. Apa mungkin dia sudah tidur?

Our Last SunsetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang