Kaindra Batara
Sejak hari itu, foto seorang wanita menghantui pikiran gue. Awalnya menolak perjodohan konyol dari keluarga adalah hal paling benar yang sudah sepatutnya gue lakukan. Mengingat bagaimana track record gue dalam urusan asmara, rasanya mendapatkan seorang istri tidak perlu bantuan dari orang lain.
Saat foto seorang wanita dikirim ke ponsel, gue langsung menghentikan meeting yang sedang berlangsung. Tidak ada yang spesial dari foto tersebut. Foto yang diambil oleh orang suruhan Oma menampilkan seorang wanita yang sedang duduk menatap keluar jendela sebuah kafe. Terlihat menunggu. Tapi bukan hal tersebut yang menarik perhatian gue saat itu. Kulit putih pucat seperti susu dengan ekspresi dingin membuatnya terlihat seperti boneka hidup.
Gue cukup kaget dengan sikap dinginnya yang seperti balok es. Wanita bernama Lembayung Senja itu secara terang-terangan menatap tidak suka. Awalnya gue hanya penasaran tentang siapa sosok wanita dalam foto. Yang rela menunggu teman kencan butanya setelah lewat dari beberapa jam waktu janjian. Namun ajakannya menikah yang tanpa pikir panjang itu membuat gue memikirkan ulang bagaimana cara memanfaatkan peluang yang ada.
Bagi gue mendapatkan wanita bukanlah hal yang sulit. Tapi untuk yang satu ini setelah berusaha menurunkan sedikit harga diri, gue cukup kesal dengan penolakannya. Gue tahu dia punya tujuan sendiri tentang pernikahan, tapi entah mengapa dengan sombongnya dia menolak tawaran yang diberikan. Gue punya banyak cara bagaimana menarik wanita setinggi apapun harga diri mereka. Terbukti meskipun sedikit lebih lama dari waktu perkiraan, Senja akhirnya menghubungi.
Menyempatkan menyeruput kopi yang dibeli waktu perjalanan ke kantor. Lalu sedikit merapikan penampilan saat Anita, sekertaris gue memberitahukan lewat telepon bahwa seseorang bernama Senja ingin bertemu. Gue berusaha memegang apapun agar terlihat sibuk ketika bunyi ketukan pintu terdengar.
Gue berusaha keras untuk tidak mengangkat tatapan terhadap seseorang yang datang mendekat. Dari caranya berjalan, bunyi ketukan heels yang beradu dengan lantai keramik. Dapat gue bayangkan bagaimana wajah tegas serta dinginnya sedang menyorot.
Saat langkah kaki itu berhenti tepat di depan meja, gue menaruh iPad begitu saja di atas tumpukan berkas dan menaikan kedua bola mata. Gue cukup menyesali tindakan yang satu itu, karena sekarang gue rasa tidak dapat mengalihkan pandangan dari apa yang ada di depan.
Bagi gue cantik itu relatif. Tergantung bagaimana pembawaan wanita itu sendiri. Biasanya selain cantik gue selalu mengevaluasi value wanita yang menarik perhatian. Dan di depan sekarang, seorang penulis best seller novel thriller sedang berdiri. Tidak susah mencari tahu tentang siapa Lembayung Senja. Novel-novel thriller yang dikeluarkannya menjadi kesukaan pembaca di tengah maraknya kisah romansa.
Di banding dengan wanita-wanita yang pernah dekat dengan gue, profesi penulis bukanlah hal yang cukup disandingkan dengan mereka. Tidak bermaksud merendahkan tapi itu memang kenyataan yang ada. Beberapa wanita yang dekat dengan gue biasanya seorang model terkenal, artis, dokter, pengacara dan mereka yang bekerja dengan masa depan terjamin. Tentu dengan latar belakang dari keluarga yang tidak perlu diragukan lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Last Sunset
Romance"A sunset paints the sky as if there were no tomorrow" -Anthony T. Hincks-