Chapter 43

132 17 8
                                        

Kaindra Batara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Kaindra Batara

Sudah lewat satu bulan lebih Senja meninggalkan gue. Terakhir kali pertemuan kita di rumahnya yang membuat gue harus berada di rumah sakit kurang lebih selama satu minggu. Selain luka bekas pukulan, kondisi tubuh gue cukup buruk karena kurangnya cairan, jam tidur yang berantakan, jarang sekali makanan masuk ke dalam perut. Untuk itu dokter memerintah gue beristirahat dalam jangka waktu panjang.

Tidak ada yang membaik dalam selang waktu itu setelah kepergian Senja. Gue tidak berani untuk mencari tahu tentang keberadaannya selain mendoakan dia dari jauh. Bukan karena tidak perduli, melainkan gue sadar diri. Dan gue cuma berdiri di satu tempat menunggunya kembali. Mungkin.

Gue hanya berusaha untuk tetap hidup sembari menunggu. Menjadi manusia sebagaimana mestinya, bernafas, bekerja, kembali pulang meski kadang kesusahan untuk tidur. Begitulah hari-hari gue lalui tanpa tujuan.

Selama itu pula gue mempunyai kebiasaan baru untuk berlama-lama di ruang kerja yang dulunya Senja pakai. Gue bahkan lebih banyak menghabiskan waktu disini untuk membaca semua karya-karyanya. Satu-satunya hal yang menjadikan gue terasa lebih dekat dengan Senja. Juga sering sekali gue ketiduran dengan wajah tertutup buku bacaan.

Malam ini sepertinya akan sama, saat gue duduk di kursi tempat Senja biasanya berada. Tidak ada yang berubah dari tata letak barang-barang yang ada sejak pemiliknya meninggalkan tempat ini. Buku-buku yang tersusun rapi atau benda-benda di atas meja seperti alat-alat tulis miliknya pun masih ada tidak bergeser barang sejengkal.

Tatap gue memaku pada sebingkai foto pigura bundar yang menampilkan wajah kita berdua tengah tersenyum. Hanya kenangan-kenangan bersama Senja yang rasanya membuat gue masih bertahan hidup hingga sekarang. Dengan keadaan yang akhir-akhir ini menenami seperti keheningan, rasa bersalah dan lelahnya berpura-pura sibuk untuk membunuh waktu hari demi hari.

Gue terbangun dengan posisi duduk, sementara kepala bersandar pada meja kerja yang di atasnya terdapat sebuah novel. Novel random yang gue pilih dari salah satu koleksi di lemari buku Senja. Gue menutup lembar novel yang semalam dibaca setelah menaruh sekat pembatas, tanda halaman mana yang terakhir gue baca. Lalu berjalan untuk bersiap kerja seperti biasa.

Setelah selesai bersiap-siap, gue turun dari kamar untuk ke lantai bawah. Meski memakai jas, gue selalu lupa mengenakan dasi. Atau lebih tepatnya sengaja tidak memasang benda itu. Entahlah, rasanya sudah menjadi kebiasaan ketika Senja yang memasangkannya dan kini dia sudah tidak ada. Jadi, kebiasaan itu gue tinggalkan begitu saja. Hanya saat ada rapat penting atau bertemu klien, gue memakai dasi. Gue sudah cukup tercekik setiap harinya tanpa kehadiran Senja. Dan tidak ingin lebih menarik tali untuk memasang dasi atau gue akan benar-benar mencekik diri sendiri.

Gue memanggang roti dengan asal-asalan untuk sarapan. Bagaimanapun gue harus tetap hidup untuk bertemu Senja kembali. Jadi, sekarang gue tengah mengunyah roti berselai strawberry sembari duduk menatap ke arah dapur.

Our Last SunsetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang