Chapter 42

96 17 8
                                    

Kaindra Batara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kaindra Batara

Gue bangun dengan posisi tidur yang berantakan. Tubuh menelungkup sementara kepala berada di ujung ranjang. Beberapa kaleng bir berserakan, ada yang isinya sudah habis, terbuka setengah, dan ada pula yang belum tersentuh sama sekali. Gue ingat saat itu tidur di pukul empat pagi.

Gue berusaha bangun, menyeret tubuh ke kamar mandi untuk sekadar mencuci wajah. Tidak berniat sedikitpun hadir di kantor, sepertinya hari ini gue akan tetap mencari Senja.

Gue tepuk-tepuk sisa air di wajah dengan telapak tangan agar mengering. Menatap pantulan diri yang amat berantakan di cermin. Bulu-bulu halus di sekitat dagu perlahan tumbuh. Biasanya setiap hari gue mencukur bersih atau Senja yang melakukannya. Namun hal tersebut sudah tidak dilakukan selama beberapa hari ini. Jangankan penampilan, gue tidak berniat untuk fokus pada apapun selain Senja.

Saat kembali ke kamar, sayup-sayup gue dengar suara gaduh di bawah. Tepatnya mungkin di dapur. Jadi, gue menuruni tangga satu demi satu dengan cepat. Tanpa berpikir bahwa bisa saja kaki ini terpeleset atau terkilir hanya karena mendengar kesibukan dari arah dapur. Berharap itu adalah Senja yang pulang dan sedang melakukan rutinitas pagi harinya seperti biasa. Membuatkan sarapan untuk kita berdua.

Namun langkah gue memelan saat mendapati seseorang wanita yang tengah sibuk di dapur, membelakangi gue dan sedang memasak sesuatu. Dari belakang saja gue sudah tau dia bukan Senja. Rambutnya yang kecokelatan dan di biarkan tergerai sebatas bahu, aku sudah bisa menebakanya. Karin.

Rupanya dia menyadari keberadaan gue dan menoleh, mengembangkan senyum serta menggoyang-goyangkan spatula yang berada di tangan kanannya.

"Kamu duduk dulu gih! Aku angkat nasi gorengnya sebentar."

Gue duduk bukan untuk memenuhi permintaan Karin. Merogoh ponsel lalu berusaha kembali untuk mendapatkan kabar Senja. Mencoba kembali menghubungi nomornya padahal tau jika ponsel dan sim-cardnya ada pada gue. Itu hanya menjadi sebuah kebiasaan yang coba gue lakukan saat dia benar-benar pergi sekarang. Lalu gue mencoba menghubungi seseorang yang menjadi suruhan untuk mencari keberadaan Senja.

Karin menghidangkan sarapan di atas meja tapi gue sama sekali tidak menoleh ke arahnya. Sibuk dengan ponsel di tangan.

"Kamu mau minum teh atau kopi?"

Dia bertanya. Bersamaan dengan panggilan masuk dari Adi yang langsung gue angkat tanpa menjawab pertanyaan Karin terlebih dahulu.

"Gue udah atur janji temu lo sama pengacara Ardan siang ini." Begitu kata Adi di dalam percakapan yang hanya gue jawab dengan, "oke." Setelah itu mematikan sambungannya.

Merasa tidak terima jika di abaikan, Karin memutari meja lalu berdiri di belakang dan meremas pelan bahu gue.

"Kai, pagi-pagi gini kamu udah sibuk banget. Tadi aku tanya kamu mau minum apa? Teh atau kopi?" tangannya merangkak naik ke leher dengan membelai pelan. Lalu dia menunduk, mencondongkan wajah kedepan dan menoleh ke kiri tatapnya berpaku. Tangan kanannya membelai sisi kiri wajah gue lalu lanjut bicara, "kamu dengar aku, kan, Kai? Kamu baik-baik...?"

Our Last SunsetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang