Hi, ketemu lagi. Gimana kabar kalian?
Lembayung Senja
Aku terbangun oleh suara aktivitas dalam villa. Obrolan yang terdengar samar-samar bercampur dengan bunyi-bunyi lainnya. Saat membuka mata, tirai yang terpasang pada sisian ranjang sedikit berkibar karena tiupan angin akibat pintu balkon yang terbuka.
Aku bangun dan berjalan ke arah balkon. Tatapanku tak sengaja menangkap Karin yang sedang berbincang dengan Kaindra di tepi kolam. Entah apa yang sedang mereka bicarakan dengan ekspresi yang terlihat begitu serius. Apa memang soal pekerjaan? Beberapa kali Kaindra menyugar rambutnya terlihat seperti frustasi sementara Karin menunduk putus asa. Ah, apa memang hanya kecemburuanku saja sehingga semua terlihat tidak wajar.
Ketika menoleh, tanpa sengaja tatapanku bertemu dengan mata Kaindra. Ekspresinya berubah seketika, dia tersenyum sembari melambai dan memintaku turun kebawah dengan gerakan tangannya. Sementara Karin hanya melirik dan berlalu begitu saja.
Saat aku turun, semuanya sudah berada di meja makan. Kaindra yang melihatku datang langsung berdiri, menyambutku dengan pelukan hangat sambil bertanya apa aku tidur dengan nyenyak? Hal itu sontak membuat sorakan dari Anita dan Adnan yang terlihat kompak meski baru pertama kali mereka bertemu. Kaindra memundurkan kursi untuk kududuki, disebelahnya, tepat di depan Karin.
Di meja makan terhidang berbagai macam sea food mulai dari udang, kerang, ikan, cumi, dan juga ada ayam. Melihat bagaimana Kaindra tengah mengedarkan pandangan pada lauk yang terhidang, aku berinisiatif mengambilkannya kerang dara saus tiram. Baru saja aku menyendok, Karin sudah menyela terlebih dahulu.
"Kai nggak makan kerang," kata Karin sambil mengambil ayam kecap. "Dia ada alergi sama kerang, badannya bisa bentol-bentol," lalu menaruhnya ke atas piring Kaindra.
Aku berusaha membasahi tenggorokan yang seketika mengering. Menaruh lauk ke atas piringku sendiri yang tadinya hendak kuberikan pada Kaindra. Nyaliku menciut. Meski yang lain sibuk dengan makanan masing-masing, entah kenapa wajahku menjadi kaku dan memanas karena rasa malu. Malu karena tidak mengetahui banyak hal tentang orang yang sekarang menjadi suamiku.
Kaindra menangkap gelagat canggung dari tatapan mataku dan Karin yang tidak sengaja saling beradu. Dia berusaha mencairkan suasana tegang di antara kita bertiga, "sayang..." dia memanggil, sementara tangannya dibawah sana mengelus lembut pahaku. Seperti sedang berusaha merayu agar aku dapat menekan perasaan apapun yang sedang kurasakan. "Ini kesukaan kamu. Aku ambilin, ya..." dia menyeret piring berisi cumi saus tiram.
Aku berusaha menelan makanan, dengan susah payah. Iya, aku tidak memungkiri jika sedang cemburu. Wajar, bukan? Bagaimana bisa aku sebagai istrinya tidak mengetahui apapun tentang dia? Apa yang dia suka, apa yang dia tidak suka? Sementara Kaindra selalu bertanya. Selalu tahu tentangku. Apa aku begitu egois?
Perasaan aneh meyerebak memenuhi dada menjadi sebuah rasa sakit yang lain. Kepercayaan diri kian menghilang membuatku tak berani mengangkat kepala untuk melihat Karin. Memang aku adalah istrinya, tapi orang lama selalu tahu semua hal lebih dahulu. Dan aku tidak ada bahkan dari seperempat bagian waktu mereka saling mengenal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Last Sunset
Romansa"A sunset paints the sky as if there were no tomorrow" -Anthony T. Hincks-