Chapter 15

135 24 21
                                    

Lembayung Senja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lembayung Senja

"

Jadi dia ninggalin lo begitu saja?"

"Yap," kataku mengaduk ice americano. Kebiasaan baru yang diam-diam kudapati setelah bersama Kaindra. Rupanya americano dengan dua sendok gula tidak terlalu buruk.

"Gue bilang apa. Jangan asal menikah dengan pria yang baru dikenal. Lo mau-maunya aja dijodohin! Gue yakin sih dia belum move. Gila aja dia lebih memilih ninggalin istri buat nganterin mantannya. Emang nggak ada taksi atau supir, gue yakin sih itu cewe modus."

Aku menarik nafas panjang berusaha menetralisir perasaan yang berkecamuk, "mungkin saja ada urusan di antara mereka yang belum selesai. Lagipula Karin sudah mengenal Kai jauh sebelum aku. Keluarga mereka juga dekat. Jadi nggak ada alasan aku buat cemburu."

Kulihat Kala frustasi dengan semua ocehannya sendiri, dia tampak mengusap gusar wajahnya lalu kembali menatapku. Kali ini dengan lekat. Dan pertanyaan yang keluar dari mulut selanjutnya membuatku sukses menahan nafas.

"Lo cinta nggak sih sama dia? Oke, kalau cinta berlebihan, lo suka nggak sih sama dia? Lo pasti bukan wanita bodoh yang mau menerima pria manapun jadi suami? Lo pasti sudah menimbang dan gue yakin ada ketertarikan. Minimal cemburulah?!"

Baru saja aku hendak membuka mulut, ekspresi keterkejutan dari Kala membuat keningku mengernyit. Seperti dia baru saja melihat hantu yang bergentayangan di siang hari. Namun samar-samar aroma maskulin yang kukenal akhir-akhir ini tercium. Aku sudah bisa menebak kenapa wajah Kala seperti itu. Orang yang menjadi topik pembicaraan kita sedang berada disini.

"Hai..." Kaindra menyapa, berdiri di samping mejaku. Dapat aku rasakan tangannya mengelus rambut belakangku, begitu lembut.

Meskipun di depan Kala aku berakting baik-baik saja. Aku masih marah pada Kaindra dan pria itu sangat tahu.

"Senja..." suaranya yang begitu dalam terdengar mengintimidasi di telinga. Memaksaku untuk mendongak malas menatap wajahnya.

Kaindra sedikit membungkuk untuk menyejajarkan wajah kami, lalu dia lanjut berbicara dengan ekspresi wajah yang dibuat memelas; "aku hubungi kamu loh tadi. WhatssApp. Pesan. Telepon. Kamu nggak bales. Seru banget apa ngobrolnya sama Kala?"

Kala meringis kaku, merasa tidak enak hati pada sindiran Kaindra yang bahkan ditunjukan padaku bukan dia.
Aku memaksakan seulas senyum, "sorry handphone-nya ada di tas. Tadi memang lagi seru-serunya ghibahin cowok yang ninggalin cewenya gara-gara si mantan." Kataku telak, berusaha melempar bom sindiran.

"Kan aku sudah minta maaf, Sayang. Jadi kamu masih marah?"

Sayang?

Aku ingin terbahak mendengarnya. Rasanya begitu aneh mendengar panggilan itu dari pria yang kita tahu sedang berpura-pura.

Our Last SunsetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang