Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Lembayung Senja
Bisa di prediksi bahwa makan malam ini jauh dari kehangatan. Hanya sebuah alasan saja yang digunakan untuk merayakan sesuatu, nyatanya sama seperti makan malam sebelum-sebelumnya. Penuh kecanggungan. Hanya tante Ajenglah yang bisa kita lihat berusaha untuk mencairkan suasana dengan banyak bicara. Bercerita tentang ini dan itu. Sesekali dia bertanya tapi Kaindra yang selalu menjadi juru bicaraku. Papa juga sama. Meski ini pertemuan pertamaku dan dia setelah aku menikah, sikapnya sama seperti biasa. Walau sempat berpikir dia sedikit berubah di acara pernikahanku dulu, nyatanya dia kembali ke stelan yang menyebalkan.
Terasa melelahkan berkali lipat rasanya hari ini. Pikiranku sudah tidak pada tempatnya. Memikirkan semua kemungkinan-kemungkinan yang terjadi atas ucapan dokter Irwan saat beberapa waktu lalu menelpon. Seharusnya aku sudah paham betul tentang apa yang sedang kuhadapi sekarang. Tapi rasanya begitu tidak nyata ketika aku menjalani hari-hari biasa dengan baik-baik saja sementara ada bom yang dapat meledak di tubuhku kapan saja.
"Jadi bagaimana pekerjaan kamu, Kaindra?"
Lamunanku sedikit terusik ketika mendengar papa mulai bicara. Kulihat tatapan papa benar-benar memaku, menunggu menantu laki-lakinya yang masih santai meneguk air dalam gelas untuk menjawab. Sangat tidak biasa melihat papa begitu tertarik akan sesuatu hal.
"Baik, Pa. Sama seperti sebelum-sebelumnya, meeting, ketemu klien dan mengurus beberapa dokumen penting," jawabannya benar-benar di atas garis aman.
Papa mengangguk-angguk lalu menjejalkan kembali makanan ke dalam mulut. "Apa setiap meeting selalu di luar kantor?"
"Itu tergantung keinginan klien, Pa. Biasanya mereka yang memilih bertemu di luar kantor, semata-mata karena membutuhkan penyegaran agar obrolan berjalan dengan baik."
"Oh, begitu...?"
Oh.. Begitu..? Aku merasakan hal yang tidak biasa. Papa terdengar tidak percaya dan kurang puas atas jawaban Kaindra.
Kaindra tidak lagi bicara, dia hanya melayangkan tatapan padaku. Merasa ada yang janggal dari percakapan ini.
"Ada kenalan saya yang melihat kamu di sebuah club---"
"Papa menyewa seseorang untuk mengikutinya?" aku langsung memotong kata-kata papa. Benar sekali dugaanku. Orang seperti papa tidak mungkin tertarik akan urusan orang lain jika tanpa sebab.
"Apa kamu tuli, Senja? Baru saja saya bilang jika ada kenalan saya yang melihatnya---"
"Omong kosong! Tidak akan ada orang yang mau ikut campur urusan orang lain jika bukan suruhan. Lagipula aku tahu kemana obrolan ini berakhir. Sejak kapan papa begitu tertarik pada urusan Kaindra. Entah dia berada di club atau tempat manapun!"
Papa berdiri secara tiba-tiba, membuat gerak tubuhnya menyenggol beberapa piring dan gelas hingga berdenting bersamaan. Situasi yang awalnya kupikir akan terkendali kini benar-benar kacau seperti biasa. Harusnya sudah ku duga dari awal. Bicara dengan pria tua kolot sepertinya tidak akan berhasil. Dia menatap nyalang ke arahku, tentu saja aku tidak gentar untuk membalas tatapan yang sama. Lalu tante Ajeng ikut berdiri, dia mencoba menenangkan Papa dengan memberi beberapa elusan lembut di lengan sambil mengingatkan untuk berhenti berdebat di hari ulangtahun pernikahan mereka. Di bawah meja sana aku sudah mengepalkan tangan lalu Kaindra memberikan elusan lembut. Perlahan menguraikan kepalan tanganku lalu menggenggamnya erat.