Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Lembayung Senja Tama
Aku membayar ongkos taksi yang kutumpangi, berjalan mengendap-endap ke arah gerbang. Kelegaan membanjiri wajah Mang Asep yang merupakan satpam rumahku. Tidak lama berselang Mang Asep membuka kunci gerbang dengan hati-hati. Aku tahu jika dia sedang berusaha menyelamatkanku kembali dari ocehan Papa yang kemungkinan saja akan aku dengar besok.
"Ya ampun Mbak Senja kenapa malam sekali pulangnya. Bapak sudah ngomel-ngomel dari tadi, Mbak." celotehnya berbisik.
Aku hanya menepuk pundak Mang Asep sebanyak dua kali sebagai rasa terimakasih karena sudah mengkhawatirkanku. Aku berjalan kembali menuju pintu samping rumah, sengaja untuk tidak melewati pintu utama karena biasanya jika Papa benar-benar murka, dia masih berada di ruang tamu untuk menungguku.
Langkahku terhenti ketika hendak memasukan kunci pintu samping rumah ketika pintu itu terlebih dahulu terbuka, memunculkan wajah frustasi dari Mbok Rasmi.
"Ya ampun Non, harus malem banget apa?" dia menutup pintu di belakangku dengan memastikan tak menimbulkan bunyi sedikitpun. Lalu tangannya mencekal pergelangan tanganku.
"Mbok kenapa belum tidur? Aku sudah sering bilang, nggak perlu nungguin aku pulang!"
Mbok Rasmi mengelus lenganku sebanyak dua kali, hal yang berarti aku tidak perlu mengkhawatirkan apapun yang dilakukannya untukku.
"Non, dengerin Bapak saja ya kalau dia ngomel. Nggak perlu dijawabin atau di tantang kaya biasa. Bapak tadi benar-benar marah Non. Dia bahkan memecahkan beberapa guci kesayangannya, Ibu juga kena omel nggak kaya biasanya."
Aku tidak terlalu terkejut mendengarnya. Sedari tadi aku sudah menduga akan ada hal besar jika aku kembali berulah. Mungkin kesabaran Papa akan berada di ambang batas malam ini. Tapi aku tidak peduli, aku sudah bertekad untuk terus melawan. Seharusnya malam ini aku pulang lebih awal untuk melakukan perjodohan kembali dengan kenalan Papa. Entah apa yang ada di pikiran pria tua kolot itu, ada saja stok laki-laki yang disodorkannya padaku.
"Nggak apa-apa Mbok," kataku berbalik mengelus lengannya untuk menenangkan.
Mbok Rasmi mencekal kembali tanganku, dari caranya menggenggam aku tahu jika dia siap untuk menemaniku, menghadapi apa saja yang berada di dalam sana, termasuk ayahku yang menjadi majikannya. Aku sering kali tersentuh atas sikap wanita tua ini, dia sudah seperti ibu kandungku. Mbok Rasmi yang merawatku sejak aku lahir, dia seringkali menggantikanku menangis ketika aku terlibat cekcok dengan Papa.
"Mbok, aku nggak apa-apa. Lagian Papa sudah sering ngomel dan bakal berakhir seperti biasa. Jadi nggak perlu khawatir berlebihan."
Papa memang selalu marah padaku bahkan hanya karena hal sepele. Saat aku kecil, kupikir itu adalah kekhawatiran orangtua pada anaknya yang nakal. Tapi ternyata semakin dewasa aku tahu, jika amarah Papa adalah bentuk kebenciannya. Ketika aku sudah mulai beranjak remaja dan memiliki keberanian untuk melawan, pertama kali pertengkaran hebat terjadi. Biasanya aku hanya dapat mendengar dan menelan semua kata-kata pahit dari Papa. Tapi hari itu tidak seperti biasa, entah keberanian darimana yang kudapat hingga berakhir aku mengetahui alasan kenapa dia membenciku selama ini.