Kaindra Batara
Selamat sahur :)
"Sampai kapan kamu berniat memberitahu aku bahwa sudah menikah?" Karin mulai bersuara begitu mobil yang kami tumpangi meninggalkan halaman rumah.
"Kaindra!"
"Apa pentingnya lagi buat kamu sih, Rin?"
Gue menoleh singkat pada Karin yang sedang menepuk-nepuk Melissa. Gadis kecil itu sudah terlelap di pangkuan ibunya.
"Jadi aku sudah nggak penting lagi?"
Gue menghela nafas panjang, menyadari tatapan Karin dari ekor mata. Memandang lurus dimana lampu-lampu menerangi jalanan kota. Membawa bagian dari diri gue ke masalalu;
"Rin... Aku mau bertanggung jawab. Please, kamu nggak perlu pergi." Hanya memakai celana training serta kaus putih dengan penampilan yang acak-acakan, gue tanpa pikir panjang langsung berlari begitu membuka mata dari tidur. Mendapati kabar jika Karin akan pergi ke luar negeri.
Di ruang tunggu terminal penerbangan luar negeri, gue mendapati Karin sedang duduk, menunduk. Sesekali dia menghapus air matanya yang jatuh.
"Please... Aku nggak mau kamu tinggalin," sembari berlutut gue berusaha meyakinkannya agar merubah keputusan yang sudah dua minggu lalu dia buat. Dia meminta mengakhiri hubungan kita. Awalnya gue hanya menganggap itu adalah kebosanan yang hinggap sesaat. Hingga tiga hari yang lalu gue baru tahu jika Karin tengah mengandung. Usia janinnya sudah tujuh minggu. Yang berarti, selama hubungan jarak jauh kita, dia bersama pria lain.
"Karin..." gue menyatukan kedua tangannya yang gemetar, lalu menggenggamnya erat. Meski kemarahan mendominasi perasaan gue saat ini atas penghianatannya, memikirkan bagaimana gue hidup tanpa Karin rasanya tidak bisa. "Kita akan besarkan anak ini bersama, oke?" gue mengangkat dagunya agar mata Karin mau menatap gue.
Perasaan gue begitu remuk dihadapkan oleh ekspresi Karin yang begitu menyedihkan, tangisnya yang tak berkesudahan mengoyak kesakitan. Dengan tangan yang sedikit gemetar, gue berulang kali mengusap air matanya.
Meski tidak menangis saat dia memutuskan hubungan, bahkan saat tahu jika dia tengah hamil, sejujurnya semua terasa begitu menyakitkan. Bagaimana tidak jika wanita yang kamu cintai tengah mengandung benih dari pria lain.
Dia menggeleng, "aku nggak bisa Kai." Rasanya kembali lagi gue di hantam sebuah batu besar di kepala.
Lutut gue terasa lemas, rasa nyeri kian menggerogoti. "M-maksud kamu?" gue berusaha tersenyum di depannya. "Don't say it, please. I love you."
Karin berdiri, membuat gue terdorong hingga jatuh. Gue benar-benar menanggalkan harga diri sebagai pria hanya untuk dia. Namun Karin hanya memandang nanar.
"I know, but I can't Kaindra. Sorry, aku nggak bisa lagi bareng kamu. Aku harap kamu lupain kebersamaan kita. Dan kedepannya kamu nggak perlu ganggu hidup aku lagi dengan memohon, karena kita nggak akan bisa bareng lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Last Sunset
Romansa"A sunset paints the sky as if there were no tomorrow" -Anthony T. Hincks-