Chapter 10

151 25 10
                                        

Lembayung Senja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lembayung Senja

Diguyur oleh rintik-rintik hujan kecil, aku masih berjongkok di depan makam mama. Wangi harum bunga yang beberapa saat lalu kutaburkan semakin menyengat tersiram air hujan. Satu tanganku masih memegang batu nisan mama dengan sorot mata lurus menatap nama yang tertera disana.

Dara Ashana,

Meski beberapa fotonya terpajang di rumah, tidak ada yang berani mengucap namanya. Semua orang di dalam rumah takut jika Papa mendengar nama tersebut.

Papa bisa menjadi orang yang berbeda ketika mendengar nama Mama. Moodnya akan memburuk seketika. Dibalik semua sikap buruknya padaku, terkadang aku berpikir betapa beruntungnya Mama dicintai oleh pria seperti Papa. Pria yang masih mengenang wanitanya meski sudah meninggalkan dunia. Seolah mereka berdua masih dalam kehidupan yang sama.

Terkadang aku berpikir adakah pria seperti itu? Pria yang masih meluangkan waktunya untuk mengenangku yang nantinya sudah mati. Seperti Papa yang bisa mengurung diri dalam ruang kerjanya. Ruang kerja yang sengaja dia buat dari bekas kamar utama. Hanya untuk mengenang Mama tanpa seorangpun yang berani mengganggu termasuk tante Ajeng.

Aku mendongak ketika merasakan sentuhan dibahuku. Mendapati Kaindra yang sedari tadi berdiri disamping dengan memayungi. Dia mengulas senyum simpul.

"Ayo kita pulang...!"

Aku berdiri, "Ma... nanti aku sama Kaindra kesini lagi setelah acara pernikahan kami. Mama doain ya dari atas sana!" rangkulan kecil pada pinggangku semakin menambah rasa haru yang sebelumnya kutahan mentah-mentah.

Sebelum tangisku benar-benar pecah, aku berbalik dan meninggalkan tempat peristirahatan terakhir Mama.
Karena gerimis masih mengguyur dan kami hanya menggunakan satu payung yang Kaindra pegang, mau tidak mau aku harus merapatkan diri padanya. Kaindra berjalan santai sembari memeluk pinggangku. Namun aku hanya menunduk mengamati ujung sepatu boot yang terciprat air. Jantungku dengan tidak tahu tempatnya menari kegirangan.

Kami memasuki mobil dan Kaindra tidak langsung menjalankannya.

"You okay?" dia bertanya.

Aku mengangguk, "iya. Aku baik-baik saja."

"Syukurlah," dia mengusap puncak kepalaku. "Aku pikir kamu sedih karena mengingat Mama kamu."

Aku merutuki diri sendiri. Merasa bersalah pada Mama karena kesedihan tentangnya tergantikan oleh perasaan senang yang tak berdasar hanya dekat dengan pria disampingku ini.

"Pasti Mama kamu bangga mempunyai anak perempuan seperti kamu," tangan Kaindra mengecup punggung tanganku.

"Kai..."

"Hmm..."

"Kalau dilihat-lihat kamu sepertinya makin percaya diri dan nggak tahu malu deh."

Dia menoleh dan terkekeh mendapatiku menatap tajam pada tangan kami yang masih bertautan.

Our Last SunsetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang