Kaindra BataraGue meminta Tante Ajeng untuk menemani Senja sebentar. Saat ini gue sedang berjalan mengikuti seorang suster yang sebelumnya meminta gue untuk menemui Dokter Collin, seorang dokter yang menangani Senja selama disini.
"Silahkan masuk!" suster itu membuka pintu sebuah ruangan namun dia tidak ikut masuk ke dalamnya.
Saat sudah berada di ruangan, cukup terkejut karena kehadiran Pram dan juga ayah mertua yang sudah berada disana. Mereka duduk di sebuah kursi melingkar dengan seorang dokter.
"Selamat siang, Mr. Batara. Akhirnya saya bertemu dengan Anda. Saya Dokter Colin yang bertanggung jawab atas pengobatan istri anda disini."
Dokter Colin bicara dengan bahasa Inggris, dia mengulurkan tangan dan gue menyambutnya. Setelah dipersilahkan duduk, gue menunggu dia membuka pembicaraan. Namun tidak lama daun pintu terayun kembali. Seorang dokter muda datang dengan membawa sebuah map yang diserahkan kepada dokter Colin setelah itu dia berpamitan keluar.
"Terimakasih semua sudah mau hadir," Dokter Colin membuka map tersebut. "Ini hasil MRI terbaru dari nona Senja."
Dari ekspresi Dokter Colin sepertinya gue dapat mengambil kesimpulan bahwa akan ada berita buruk. Seketika suasana menegang. Tangan Pram menggenggam erat punggung tangan ayahnya. Sementara gue berusaha bernafas dengan baik karena mendadak udara dalam ruangan seketika terenggut.
Dokter Colin menaruh hasil MRI Senja di atas meja kaca bening, lalu mendorongya tepat di tengah agar semua orang dapat melihat.
"Tumor di kepala Senja sangat aktiv dan cepat sekali membesar. Bisa kalian lihat perbedaannya, hasil MRI dulu yang sempat saya minta pada dokter Irwan."
Gue berusaha mendengar penjelasan Dokter Colin dengan saksama. Meski kepanikan menjalar ketika melihat bagaimana cara Pram menatap kedua hasil MRI tersebut, dia yang seorang dokter pasti sudah dapat membaca dan mengetahui apa maksud dari hasil keduanya yang disejajarkan.
"Pada awalnya tumor di kepala nona Senja hanya sebesar telur. Tapi setelah kita melakukan berbagai macam pengobatan seperti radiasi dan kemo untuk memperlambat perkembangannya, ternyata...." Dokter Colin menunjuk hasil MRI terbaru, "membesar dengan cepat hingga mengenai bagian otaknya."
Gue dapat melihat wajah ayah mertua menegang seketika. Dia terlihat syok.
"Saya sarankan untuk cepat melakukan operasi kembali."
Tangis ayah mertua pecah seketika. Dia memandang Pram yang hanya menunduk, lalu matanya berjalan seolah sedang mencari-cari sesuatu dan menemukan gue. Sorot mata itu mengisyaratkan sebuah permintaan tolong untuk siapapun agar dapat membantu putrinya. Hati seorang ayah mana yang rela mengantar putri satu-satunya untuk berkali-kali berjuang di meja operasi sendiri.
Mengambil alih keterkejutan atas berita buruk yang baru saya di dengar, gue mencoba bersikap logis. Tarikan nafas panjang gue ambil, kemudian meski tidak yakin dapat bersuara dengan baik, akhirnya gue bicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Last Sunset
Romance"A sunset paints the sky as if there were no tomorrow" -Anthony T. Hincks-