Lembayung Senja
Aku berdiri di balkon memegang mug berisi cokelat panas dengan kedua tangan sembari menatap rintik gerimis yang turun pagi ini. Bunga dan dedaunan yang terletak di sisian dinding balkon dapat dijangkau derasnya hujan subuh tadi dan masih terlihat basah. Ku abaikan langkah kaki yang mengendap-endap dari arah belakang punggung.
Sebuah tangan kekar terulur sebatas pinggang, lalu memelukku dari belakang.
"Kamu udah bangun?" Kaindra menaruh dagu dipundakku.
"Hmm.."
Dia bergelayut manja menatap wajahku dari samping. "Marah?" tanyanya.
Aku menoleh dan tatapan kami bertemu. Kutemukan wajah lelah yang dia paksakan untuk tersenyum. Kantong matanya begitu kentara ketika melihatnya dari jarak sedekat ini. Mungkin dia terjaga sepanjang malam di rumah sakit.
"Nggak. Cuma kesal sedikit. Kamu nggak kabarin aku kalau nggak pulang."
"Maaf ya, sayang." Dia mengeratkan pelukan sembari membenamkan wajah di ceruk leherku. Terdengar helaan nafas panjang yang dia tarik terasa frustasi.
"Kenapa?"
Kaindra memutar posisi tubuhku hingga kami saling berhadapan. Tangannya masih betah di pinggangku, dia tersenyum lembut. Membelai sisi wajah dan menyingkirkan beberapa helai rambutku yang berterbangan karena angin.
"Nggak apa-apa. Aku cuma capek dan butuh kamu aja sekarang."
Sentilan mendarat di keningku saat aku mengernyit.
"Kamu tuh, iya... Aku peluk kaya gini, nggak dipeluk balik."
"Oh..." entah sekaku apa wajahku sekarang namun masih bisa menaruh mug yang sudah kosong di teras balkon, membiarkan gerimis mengenai. Lalu mengulurkan tangan dan memeluk tubuh Kaindra. Menaruh kepala di dadanya yang bidang. Detak jantungnya yang berirama terdengar bebarengan dengan rintik hujan yang turun. Begitu menenangkan ketika aku menutup mata, menyingkirkan segala macam kekacauan yang ku buat dalam kepala. Entah siapa di antara aku dan dia yang butuh di hibur sekarang.
Tapi jelas, pelukan memang dibutuhkan untuk menenangkan.
"Aku suka aroma kamu saat bangun tidur."
"Jangan bercanda!" aku menarik ujung sisi kemejanya yang masih sama dia kenakan seperti semalam.
Dia terkekeh lalu melepaskan pelukan. Tatapannya belum berpindah dari wajahku.
"Aku ingin sesuatu yang manis," katanya.
"Mau aku bikinin cokelat panas atau teh hangat?"
Dia menggeleng dengan seyuman jahil.
"Terus kamu mau apa?"
"Aku mau ini.."
Kaindra mendekat, menciumku dengan rakus seperti orang yang kehausan. Aku bahkan kesusahan untuk mengambil nafas karena tempo ciuman yang semakin panas. Dia menuntun tubuhku kesamping lalu menyapu barang-barang di atas meja dengan lengannya hingga tersingkir dan beberapa jatuh ke lantai menimbulkan bunyi.
Dia mengangkat tubuh dan mendudukanku di atas meja. Tanpa melepaskan ciuman, satu tangannya membelai lembut pahaku, lalu berusaha membukanya lebar. Dia masuk di antara kedua paha dan membuat jarak kita semakin lebih dekat.
Aku mendongak saat bibirnya menyentuh kulit leherku lalu berjalan ke atas menyentuh daun telinga. Desahan terlepas disertai bunyi hujan yang rupanya kembali lebat. Mengaburkan suara erangan yang tidak bisa kutahan saat tangannya menyentuh dadaku bahkan disaat pakaian masih lengkap kukenakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Last Sunset
Romantik"A sunset paints the sky as if there were no tomorrow" -Anthony T. Hincks-