Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kaindra Batara
Gue menangkap gelagat aneh dari Karin semenjak meeting dimulai. Berulang kali dia memeriksa ponsel dan tidak fokus pada penjelasan yang tengah dijabarkan. Puncaknya pada saat dia tidak sengaja menjatuhkan sebuah gelas dan gue langsung menginterupsi. Seolah tahu maksud dari tatapan gue, Karin berjalan mengikuti keluar dari meeting room. Sementara Adi meminta untuk office boy membersihkan pecahan gelas yang berserakan.
Gue tidak dapat menahan diri begitu sampai diluar. "Rin, kamu tahu ini proyek besar?" gue berkacak pinggang sembari mengela nafas panjang, dia hanya menunduk. "Dan kamu sebagai salah satu arsitek pilihan mereka malah nggak fokus sama materi yang sedang dibahas."
Karin mendongak dan tatapan kami berserobok, ada ketakutan di dalam bola matanya yang membuat kening gue berkerut semakin dalam. Apa gue terlalu berlebihan memarahinya?
"Kai..."
Gue diam, menunggunya lanjut bicara.
"Dia ada disini?"
"Dia...?"
Karin mengangguk mantap. Hanya ada satu pria yang selalu membuat Karin menampilkan ekspresi ketakutan yang sama. Pria yang pernah gue lihat bertengkar dengannya di pesta ulang tahun perusahaan. Dan pria yang sama pula, berkali-kali mengunjungi perusahaan hingga terlibat perkelahian tidak sengaja dengan gue. Waktu itu lagi-lagi gue tidak sengaja mendapati Karin sedang berdebat di area basemen. Pria itu sempat mencengkram bahu Karin dan gue datang. Adu mulut dan perkelahian kecil tak terelakan, meski tidak mendapat satu pukulan, sorot mata tajam penuh dendam masih gue ingat saat pria itu pergi sembari mengucapkan kata-kata yang tidak bisa terlupakan, "jangan ikut campur dan berusaha membela perempuan ular ini!"
Gue melirik beberapa karyawan berjalan dengan raut wajah penasaran yang tidak dapat disembunyikan.
"Tunggu aku di ruang penyimpanan," gue bergegas masuk kembali ke meeting room dan meminta waktu break tiga puluh menit. Sepertinya pembicaraan ini tidak dapat berakhir dengan baik dan gue langsung menyusul Karin yang terlebih dahulu sudah masuk ke salah satu ruangan lain dalam kantor.
Sebuah ruang penyimpanan berkas yang letaknya berada di ujung koridor kantor sehingga jarang sekali karyawan wira-wiri disekitarnya. Gue masuk dan disambut wajah Karin yang lebih panik dari tadi saat dia menyodorkan ponsel yang berisi sebuah pesan. Bukan merupakan pesan ancaman hanya saja seseorang itu menuliskan jika dia berada di pulau Bali sedang berusaha mencari Karin.
"Dia nggak pernah tau kalau aku kembali ke Indonesia dengan Melissa, Kai." Karin tampak mondar mandir diruangan sempit ini, "dia hanya tau Melissa salah satu anak yang Oma asuh dari salah satu panti asuhannya seperti aku dulu. Aku terpaksa berbohong karena tidak ingin mempertemukan mereka."
"Tapi Rin, Melissa adalah putri---"
"Nggak, nggak, Kai..." Karin menggeleng-gelengkan kepala frustasi, sesekali dia menjambak rambutnya.