Chapter 6

130 28 6
                                    

Kaindra Batara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kaindra Batara

"Sibuk banget nih kayanya?"

Gue mengalihkan fokus dari berkas-berkas yang baru saja dibaca kepada orang yang baru saja masuk ke dalam ruangan. Memijat sudut mata yang sudah terasa perih karena tanpa jeda membaca semua dokumen yang menumpuk. Lebih tepatnya menyibukan diri agar pikiran dan kepala tidak berisik.

Sejak pertemuan kemarin, gue sama sekali tidak dapat mengenyahkan sosok wanita tersebut. Bahkan berkali-kali memegang ponsel untuk menghubunginya dan berniat mengiyakan ajakannya untuk menikah. Tapi untung saja gue dapat menahan kekonyolan yang dapat mempermalukan diri sendiri.

"Bisa bawakan saya dua es americano. Untuk saya seperti biasa, Anita." perintah gue pada Anita melalui telepon.

"Kapan sih gue nggak sibuk. Jadi ada berita apa yang lo bawa?" gue duduk di depan Adi. Salah satu teman sekaligus orang kepercayaan gue di kantor.

"Lo tahu kalau dia akan balik ke Indonesia awal bulan depan?"

Gue berusaha memasang wajah setenang mungkin dengan pembahasan yang satu itu.

"Iya."

"Lo baik-baik saja, kan?"

Gue mendengus, berpura-pura tertawa untuk hal yang tidak lucu sama sekali. "Memangnya gue kenapa Di?"

"Iya----" Adi tampak menimbang sesuatu sebelum berbicara, "we both know that you haven't moved on, bro."

"Iya. Tapi bukan berarti itu sesuatu yang spesial. Gue hanya belum bisa menerima."

"Terus apa rencana lo kalau dia balik?"

"Nothing. Hubungan gue dengan dia sudah selesai. Tapi tujuan awal gue belum terlaksana. Gue bakal bikin pria yang sudah mencampakan dia menyesal. That's it."

Terdengar helaan nafas dari Adi, "itu artinya lu belum bisa move on, setan!"

Gue tertawa mendengar cibiran Adi. Gue sudah mengikhlaskan apa yang terjadi dengan hubungan di masalalu. Tapi masalahnya wanita yang gue relain untuk pria lain kini dicampakan begitu saja. Ada kekesalan yang berkecamuk dalam hati saat itu. Tapi wanita itu enggan kembali meskipun gue sudah berkata akan menerima dia dengan kondisinya.

Waktu berlalu begitu cepat hingga tidak terasa sudah tiga tahun dari terakhir kali gue mengantarnya ke bandara. Mungkin dia sudah melupakan semua sakit hati yang diberikan oleh pria yang menjadi pilihannya dulu, tapi gue tidak bisa.

Pintu terketuk dan Anita masuk membawa sebuah nampan. Tanpa sadar gue bernafas lega karena Anita berhasil menyelamatkan dari percakapan ini.

"Thankyou, Anita. Lalu apa ini?" gue menatap paper bag yang baru saja diletakan oleh Anita beserta dua gelas es americano. "Sepertinya saya tidak memesan apapun selain kopi?"

Our Last SunsetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang