Kaindra Batara
Gue tersenyum begitu melihat Senja yang baru saja melipat layar notebooknya. Bergegas menghampirinya hingga beberapa kali gue harus menghindari pelayan yang sedang mengantar pesanan atau pengunjung. Di jam makan siang seperti ini kafe milik Kala terhitung penuh. Selain tempatnya yang strategis, terletak di depan perusahaan dan disebelah sebuah rumah sakit. Bukan suatu pemandangan asing mendapati para karyawan bahkan orang-orang bersneli maupun pegawai rumah sakit lainnya akan menghabiskan waktu disini.
"Sorry telat dikit," gue melepaskan jas yang hampir setengah hari ini melekat di tubuh. Menyampirkannya pada punggung kursi lalu mengambil alih tempat duduk di depan Senja.
"Nggak apa-apa. Sebenarnya kalau kamu sibuk nggak perlu absen makan siang bareng aku. Lagipula kalau kamu mau, aku bisa kirim makanan ke kantor kalau emang sibuk banget."
Gue hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Senja. Meski Karin sudah bekerja selama seminggu di perusahaan, gue belum menemukan waktu pas untuk bicara pada Senja tentang hal ini. Rasanya suasana hangat dan intensitas hubungan kami yang semakin terbuka hingga lebih dekat dari sebelumnya membuat gue enggan merusak keadaan yang sudah ada. Beruntung Karin selalu bekerja diluar kantor. Mengharuskannya pulang pergi Jakarta-Bandung untuk meninjau tempat yang akan dijadikan cabang coffee shop dari klien kami. Dan jujur saja gue takut jika Senja tidak sengaja bertemu Karin di kantor. Sebelum gue memberitahu, menjelaskan kenapa harus memperkerjakan mantan kekasih di dalam perusahaan sendiri. Itu akan semakin memancing pikiran buruknya. Skenario-skenario yang dia buat seolah memperkerjakan mantan kekasih adalah jalan bagi gue untuk dekat kembali. Wanita dan segala pemikirannya sendiri terkadang mengerikan dan membuat keadaan jauh lebih rumit.
"Jadi cemilan apa yang dapat mengganjal perut kita siang ini?" gue berusaha mengalihkan topik pertanyaannya.
"Kala bakalan buka restoran ramen. Dan kita disini disuruh nyobain resep buatannya."
"Sorry nunggu lama. Hectic banget tadi di dapur," Kala datang dengan sebuah nampan. Menaruh dua mangkuk ramen di atas meja. "Hai, Kai, udah lama?"
"Nggak Kal, gue baru dateng kok. Biasa meeting," jawab gue langsung menyambar segelas air putih dingin yang dibawa Kala.
Kala duduk disebelah Senja. Bersender di punggung kursi berserta nampan kosong dalam dekapannya.
"Cobain gih dan kasih nilai. Worth it nggak kalau gue jual?"
Gue melirik Senja dan dia menatap balik. Seperti sepakat dalam diam, kami serempak mengambil sumpit.
"Eh tunggu dulu," pekik Kala. Gue melihat Senja menoleh ke arah Kala dengan kening berkerut. "Kalau ini hasilnya oke sayang banget nggak di abadikan. Lo kan punya banyak followers," ujar Kala pada Senja. "Hitung-hitung promosiin makanan gue di feeds lo dong!"
"Oke.." Senja mengeluarkan ponselnya, "coba tangan kamu mana Kai?!"
Gue mengerjap kebingungan tapi tetap mengulurkan tangan sesuai keinginannya. Senja melakukan hal yang sama, tangan kami saling bertaut di tengah meja. Sementara tangan Senja satunya memotret.
Ada getaran aneh yang meringsak dari ujung kaki naik ke atas hingga ke jantung. Berdetak lebih cepat saat remasan kecil gue rasakan dari genggaman tangan Senja. Tangan mungil yang rasanya begitu pas ketika kelima jemari kita saling bertaut.
"Kamu bilang target marketingnya anak-anak muda, kan? Jadi lebih oke kalau sedikit di romantisasi dalam promosinya," ucap Senja pada Kala. "Coba sekarang kamu fotoin aku?!" pinta Senja mengulurkan ponselnya.
Gue berdehem canggung kembali karena sisa efek dari genggaman tangan yang berlangsung beberapa saat saja. "Biar pake handphone aku."
"Tapi aku bingung harus bergaya seperti apa?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Our Last Sunset
Romansa"A sunset paints the sky as if there were no tomorrow" -Anthony T. Hincks-